Wilkommen

Semua hal yang unik, profesional, berjiwa seni, ilmiah, sporty dan elegan ada di blog ini..

Slamat ber explore

Monday, April 2, 2012

Ruang Lingkup Sosiologi Hukum dan Kegunaannya


RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM DAN KEGUNAANNYA
Oleh Taufiq Kurniawan[1]

Pada hakikatnya ilmu dapat diibaratkan seperti pohon yang memiliki induk. Induk dari ilmu tersebut adalah filsafat ilmu. Dalam ilmu hukum terdapat berbagai macam ilmu yang saling berkaitan dengan ilmu hukum yang menjadi pokok ilmu itu sendiri disamping filsafat hukum yang menopang keberadaan ilmu hukum dan ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan hukum. Ilmu hukum sebagai suatu ilmu yang meneliti gejala hukum dalam masyarakat, telah berusaha berabad-abad lamanya dan berkembang menjadi suatu jaringan dari berbagai spesialisasi seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tatanegara, hukum internasional dan seterusnya.[2] Beberapa ilmu yang berkaitan dengan hukum itu antara lain dapat digabungkan dengan ilmu hukum seperti psikologi hukum, politik hukum, sosiologi hukum dan masih banyak lagi ilmu yang berkaitan dengan hukum.
Pada artikel ini hanya akan dibahas mengenai sosiologi hukum dan ruang lingkupnya. Sosiologi hukum diperlukan dan bukan penamaan baru bagi suatu ilmu pengetahuan yang telah lama ada. Memang baik ilmu hukum maupun sosiologi hukum mempunyai pusat perhatian yang sama yaitu hukum, akan tetapi sudut pandang kedua ilmu tadi juga berbeda, dan oleh karena itu hasil yang diperoleh juga berbeda. Sosiologi hukum adalah suatu gejala sosial-budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam masyarakat. Sosiologi hukum memiliki dua konsepsi fundamental. Konsepsi fundamental pertama menyatakan bahwa kesatuan sosial merupakan akibat dari adanya integrasi dari berbagai fungsi berbeda, akan tetapi yang bersifat komplementer. Konsepsi fundamental kedua memberikan tekanan pada pentingnya nilai-nilai, kaidah-kaidah, hukum-hukum maupun moral yang sama. Apabila hal-hal itu tidak ada maka suatu mekanisme fungsional tak akan mungkin beroperasi.[3]
Beberapa ruang lingkup atau masalah yang disoroti dalam sosiologi hukum antara lain[4]:
1.      Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat
Suatu sistem hukum merupakan pencerminan daripada suatu sistem sosial dimana sistem hukum tadi merupakan bagiannya. Perlu diteliti terhadap dalam keadaan-keadaan apa dam dengan cara-cara yang bagaimana sistem sosial mempengaruhi suatu sistem hukum sebagai subsistemnya dan sampai sejauh manakah proses tadi berlaku timbal balik. Misalnya apakah sistem kewarisan dalam suatu masyarakat mempengaruhi sistem hukum kewarisannya.
2.      Persamaan dan perbedaan sistem hukum
Dengan membandingkan beberapa masyarakat yang berbeda, akan tetapi dapat pula diadakan penelitian terhadap sistem-sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat yang terdiri dari  pelbagai sistem sosial dengan masing-masing hukumnya
3.      Sifat sistem hukum yang dualistis
Baik hukum substantif maupun hukum adjektif disatu pihak berisikan ketentuan-ketentuan tentang bagaimana manusia akan dapat menjalankan serta mengembangkan hak-haknya,mempertahankan hak-haknya, mengembangkan kesamaan derajat manusia menjamin kesejahteraannya dan seterusnya. Akan tetapi di lain pihak, hukum dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengendalikan warga-warga masyarakat atau dapat dijadikan sarana oleh bagian dari masyarakat yang dinamakan penguasa untuk mempertahankan kedudukan sosial-politik-ekonominya.
4.      Hukum dan Kekuasaan
Ditinjau dari ilmu politik, hukum merupakan suatu sarana dari elit yang memegang kekuasaan dan sedikit banyak dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya. Baik-buruknya suatu kekuasaan, tergantung dari bagaimana kekuasaan tersebut digunakan yang harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu. Karena sifat dan hakekkatnya, agar kekuasaan tersebut dapat bermanfaat harus ditetapkan ruang lingkup dan batas-batasnya. Untuk itulah diperlukan hukum yang ditetapkan oleh penguasa itu sendiri.
5.      Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya
Hukum sabagai kaidah atau norma sosial tidak lepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan bahkan dapat dikatkan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkritiasasi dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa untuk mewujudkan nilai-nilai sosial yang dicita-citakan oleh masyarakat, diperlukan kaidah-kaidah hukum sebagai alatnya. Sedangkan budaya hukum memiliki pengertian yang berbeda. Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat-masyarakat tertentu terhadap hukum. Jadi budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan anggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan[5]
6.      Kepastian Hukum dan Kesebandingan
Kepastian Hukum dan kesebandingan merupakan dua tugas pokok dari hukum.Walaupun demikian seringkali dua tugas tersebut tidak dapat ditetapkan sekaligus secara merata. Hal ini ditegaskan oleh Max Webber yang membedakan substantive rationality dan formal rationality. Dikatakannya bahwa sistem hukum barat mempunyai kecendurungan untuk lebih menekankan pada segi formal rationality. Artinya penyusunan secara sistematis dari ketentuan-ketentuan seringkali bertentangan dengan aspek substantive rationality yang merupakan kesebandingan bagi warga masyarkaat scara individual.Hal ini merupakan tantangan untuk membentuk suatu sistem hukum yang memberikan derajat yang sama bagi setiap warganya dalam melakukan tindakan hukum akan tetapi juga terbuka bagi perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat.
7.      Peranan Hukum sebagai alat untuk mengubah Masyarakat
Kadangkala perubahan sosial tidak selalu beriringan dengan perubahan hukum. Pada masyarkat yang dinamis, perubahan sosial jauh lebih cepat dibandngkan dengan perubahan hukum. Oleh karena itu hukum yang berlaku harus berkembag mengikuti sistem masyarakat yang berkembang. Dalam uraian Bredemeier,  hukum sebagai titik tolak untuk mengatasi konflik secara tertib. Hukum diidentikkan dengan proses peradilan dimana proses peradilan ini kemudian dihubungkan dengan kertiga proses fungsionilyang utama pada suatu sistem sosial. Hubungan tersebut merupakan hubungan sebab akibat yang dianalisa atas dasar input dan output terhadap proses peradilan.[6]

Dengan berpedoman pada ruang lingkup diatas maka dapatlah dikatakan bahwa sosiologi hukum merupakan sosiologi hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara teoritis, analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum dan sebaliknya.  J van Houtte mengemukakan ada dua pendapat utama terhadap perspektif sosiologi hukum, yaitu sebagai berikut:[7]
1.      Pendapat yang menyatakan bahwa kepada sosiologi hukum harus diberikan fungsi yang global. Artinya sosiologi hukum harus menghasilkan suatu sintesa antara hukum sebagai sarana organisasi sosial dan sebagai sarana keadilan.
2.      Pendapat lain yang menyatakan, bahwa kegunaan dari sosiologi hukum  adalah justru dalam bidang penerangan dan pengkaidahan.
Dari batasan ruang lingkup dan perspektif diatas maka dapatlah dikatakan kegunaan sosiologi hukum di dalam kenyataannya adalah sebagai berikut:
1.      Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial
2.      Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan untuk memberikan analisa terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendali sosial, sarana untuk mengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan keadaan sosial tertentu.
3.      Sosiologi hukum memberikan kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum di dalam masyarakat.


[1] Mahasiswa MIH Universitas Diponegoro Program Fast Track 2012
[2] Soerjono Soekanto, Pokok Pokok Sosiologi Hukum, 1988, (Radjawali Press: Jakarta) halaman 8-9
[3] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Menelusuri Sosiologi Hukum Negara, 1983, (CV Rajawali: Jakarta) halaman 7
[4] Ibid halaman 11-21
[5] Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, 2010, (PT Alumni, Bandung) halaman 51
[6] Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, 1991 (PT Citra Aditya Bakti, Bandung) halaman 33
[7] J van Houtte dalam Soerjono Seokanto, Op.Cit halaman 21-22

Sejarah perkembangan hukum kedalam 4 aliran utama


PERKEMBANGAN HUKUM KEDALAM BEBERAPA ALIRAN
Oleh Taufiq Kurniawan[1]

Sejarah perkembangan hukum merupakan sejarah perkembangan suatu masyarakat dalam totalitas hukum. Apa yang berlaku untuk seluruh berlaku juga untuk sebagian. Serta maksud dan tujuan sejarah hukum mau tidak mau menentukan dalil-dalil atau ‘perkembangan hukum kemasyarakatan’. Hal ini penting karena begitu besar peran hukum dalam masyarakat. Pada awalnya sejarawan hukum mengalami permasalahan untuk menuliskan sejarah hukum ini secara integral, sedangkan hukum merupakan bagian parsiil. Namun pada akhirnya dengan pendekatan objektif, dicapai suatu persesuaian faham tentang wujud dan dasar-dasar hukum yang kemudaian berkembang menjadi aliran-aliran dan mazhab-mazhab dibidang hukum.
Pada awalnya hukum adalah sebuah nilai yang terletak dalam alam pikiran manusia dan disepakati bersama sebagai suatu konsensus yang hidup dalam suatu masyarakat. Nilai berada pada tataran das sollen yang berisi hal-hal yang ideal yang di impikan oleh kita bersama. Kemudian nilai ini di akomodasi dalam bentuk sebuah norma hukum. Jadi disini dapat dikatakan bahwa norma hukum mengandung nilai-nilai yang dicita-citakan dengan lahirnya norma tersebut ke dalam masyarakat. Kemudian setelah suku Barbar terkena pengaruh Romawi, maka norma tersebut dirasa perlu dituliskan. Aturan kebiasaan menurut HLA Hart merupakan ‘aturan pengakuan’ rule of recognition yang juga di akomodasi menjadi sebuah peraturan namun tidak tertulis.[2] Pada perkembangannya konsep hukum sebagai nilai dan peraturan berkembang menjadi beberapa aliran-aliran hukum antara lain:
1.      Filosofical jurisprudence
Memahami hukum sebagai law as what ought to be in moral or ideal percepts, di mana hukum adalah apa yang seharusnya di dalam ajaran, prinsip atau aturan moral atau ideal. Dalam bahasa lain, hukum dalam aliran ini dimaknai sebagai ius constituendum, yakni ‘hukum yang di cita-citakan’ disini hukum dicirikan sebagai asas moralitas yang bernilai universal dan menjadi bagian inheren dari sistem hukum alam. Adapun keadilan sebenarnya masih belum terwujud dan masih terus diupayakan. Bekerja dengan basis norma moral pada ranah normatif normologik.[3] Disini pengetahuan hukum pada hakikatnya dimaknai sebagai hipotesa mengenai hubungan sebab akibat, guna memprediksi dan mengontrol berbagai fenomena sosial yang muncul di tengah masyarakat yang telah diverifikasi serta kemudian diterima sebagai fakta hukum. Dengan bergulirnya waktu, sejalan dengan generalisasi serta semakin terkumpulnya fakta hukum, pengetahuan hukum lalu tumbuh secara bertahap (akresi). Ini dikarenakan setiap fakta hukum sejatinya adalah building block bagi bangunan pengetahuan hukum yang terus tumbuh. Penganut  aliran tersebut dengan demikian juga termasuk para penelitinya maupun hukum itu sendiri berada pada posisi netral terhadap masyarakat sebagai pihak yang diteliti. Mereka mempunyai semacam special previlege dan biasanya bersikap sebagai ilmuwan yang tidak mempunyai ketertarikan (disinterested), maupun mempunyai jarak (distanced), terhadap masyarakat baik sebagai objek penelitian maupun objek hukum itu sendiri. Ini berarti, hukum diyakini bebas nilai atau value free.[4]
2.      Sociology of law
Berakar pada studi yang berakar pada ilmu sosiologi.[5] Memandang hukum dari sudut pandang sosiologi. Memandang hukum sebagai law as it in society. Dalam pandangan ini hukum karenanya diterima sebagai law as regularities. Sebagai sesuatu yang berlangsung sebagai reguler, dengan sendirinya hukum lantas dipadankan layaknya pola perilaku sosial. Tatkala pola ini semakin mapan, hanya soal waktu sebelum akhirnya hukum diartikan lebih jauh sebagai institusi sosial yang nyata sekaligus fungsional di dalam sistem kehidupan masyarakat. Kerja hukum sebagai institusi sosial ini berlangsung baik dalam proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa, maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan pola perilaku yang baru.[6] Dalam hal ini fakta hukum adalah bukan hipotesa yang tidak lagi dapat di falsifikasi. Baru kemudian setelah di generalisasi, fakta hukum ini menjadi bagian dari pengetahuan hukum. Oleh karena setiap fakta hukum dapat di ibaratkan sebagai building block bangunan hukum, maka seiring dengan terkumpulnya fakta hukum pengetahuan hukum pun selanjutnya tumbuuh secara bertahap.



3.      Sociological jurisprudence
Memusatkan studi pada perilaku hakim dalam membuat keputusan.[7] Sosiological jurisprudence yang dipelopori oleh Eugene Elrich (1862-1922) menjadi sangat terkenal sejak tulisan Roscoe Pond (1876-1964). Menurut Schun:
Pound asserted that law had to be viewed as a social institution designed to satisfy social wants and he considered it as task of jurisprudence to develope a scheme whereby the maximum satisfaction of socially worthwhile purpose might be accomplished.[8]
Menurut Roscoe Pound hukum juga berfungsi sebagai alat rekayasa sosial (a tool of social engineering). Aliran ini banyak digunakan dalam penerapan hukum di pemerintahan negara-negara di dunia.
Dalam hal ini, hukum utamanya terwujud sebagai perintah-perintah eksplisit yang secara positif telah terumus jelas guna menjamin kepastiannya, seperti misalnya peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional atau putusan hakim di suatu negara. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa operasi alran-aliran tersebut didasarkan utamanya pada ranah normatif positif. Secara umum hukum dicirikan dengan keputusan yang diciptakan hakim in concreto dalam proses peradilan. Dasar dari aliran yang bergerak pada ranah normatif behavioral ini adalah norma positif yudisial.[9] Bisa dikatakan dengan demikian hukum merupakan hasil cipta penuh pertimbangan (judgement) dari hakim pengadil.
4.      Normatif/Positive Jurisprudence
Menemukan (discover) hukum-hukum alam/alamiah sehingga manusia dapat memprediksi dan mengontrol berbagai peristiwa/kejadian. Suatu sistem yang terbangun oleh interaksi antara berbagai definisi, aksioma dan hukum yang bersifat deduktif dan logis.[10]
Objek dogmatika hukum adalah terutama hukum positif. Dengan itu sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum yang bagian intinya ditetapkan (dipositifkan) oleh para pengemban kewenangan hukum dalam suatu masyarakat tertentu.Perumusan hukum oleh pembentuk hukum disebut rechtsvorming sedangkan pengambilan putusan hukum disebut rechtsvinding[11]
Pandangan normatif menganut teori kebenaran yang lain sebagai latar belakangnya, yakni teori pragamatik. Dalam teori kebenaran pragmatis, suatu teori adalah benar, jika teori itu berfungsi secara memuaskan. Hubungan inti di dalam ilmu adalah subjek dengan subjek. Dalam pandangan normatif, juga tidak dilakukan pembedaan (pemisahan) antara hukum dan moral. Keterjalinan faktual antara hukum dan moral berlawanan dengan pandangan positivistik juga dapat dipertahankan pada tataran teoritis yang abstrak.



[1] Mahasiswa Program Fast Track Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
[2] Lili Rasjidi, Sejarah Hukum: Suatu Perkembangan (PT Refika Aditama, Bandung, 2007) halaman 24
[3] Erlyn Indarti, Komparasi Berbagai Aliran Filsafat Hukum: Suatu kajian Filsafat Hukum. Majalah Ilmiah FH Unissula Vol XVII, No 3 September 2007.
[4] Erlyn Indarti, Diskresi dan Paradigma: Sebuah Telaah Filsafat Hukum. Disampaikan pada pidato pengukuhan Guru Besar Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Undip, Semarang 4 November 2010
[5] Esmi Warassih, Penelitian Socio Legal; Dinamika Sejarah dan Perkembangannya, (Workshop Pemutakhiran Metodologi Penelitian Hukum Bandung, 20-21 Maret 2006) halaman 7-8
[6] RL Abel The Law and Society Reader dikutip oleh Erlyn Indarti Op. Cit halaman 24
[7] Ibid
[8] Edwin M Schun, Law and Society: a sociological view dalam Muhammad Shiddiq TA, Perkembangan Pemikiran Ilmu Hukum (Jakarta, Pradnya Paramita, 2003) halaman 91
[9] R. Wacks dalam Erlyn Indarti Op.Cit halaman 23
[10] Neuman, 1991. Tiga Pendekatan Penelitian dikutip dari Erlyn Indarti, Paradigma: Apa dan Bagaimana (Makalah disampaikan pada kuliah Filsafat Hukum 2011) halaman 6
[11] B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1996) halaman 169