Wilkommen

Semua hal yang unik, profesional, berjiwa seni, ilmiah, sporty dan elegan ada di blog ini..

Slamat ber explore

Tuesday, June 19, 2012


Cita Hukum dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Hukum
di Indonesia[1]
Oleh Taufiq Kurniawan[2]

Untuk mewujudkan tujuan masyarakat yang madani berdasarkan cita hukum pancasila, maka perubahan paradigma perlu dilakukan dalam setiap tahapan pekerjaan hukum, pendidikan hukum melalui penyiapan sumber dayanya, dan penataan kembali secara simultan bidang ekonomi, politik, dan membangun budaya hukum yang terumus secara normatif yang memuat nilai-nilai dasar bangsa yang dalam aplikasinya tidak boleh mengabaikan aspek realien der Gesetzgebung (modal sosial yang dimiliki bangsa Indonesia) di tingkat domestik maupun internasional. Sehingga hukum memiliki nilai yang mengintegrasi subsistem-subsistem tersebut.
Berbagai pengertian hukum, memiliki banyak dimensi yang sulit disatukan, mengingat masing-masing dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar, hukum dikelompokkan kedalam  tiga (3) pengertian dasar:
1.      Hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak. Konsekuensi metodologi adalah bersifat logis
2.      Hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan yang abstrak, maka pusat perhatian terfokus pada hukum sebagai suatu lembaga besar yang otonom, yang kita bisa bicarakan sebagai objek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal diluar peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologisnya adalah normatif-analitis
3.      Hukum dipakai sebagai sarana mengatur masyarakat, maka metode yang digunakan adalah metode sosiologis. Mengaitkan hukum untuk mencapai tujuan dan kebutuhan konkrit dalam masyarakat.
Akan tetapi hendaknya hukum dipandang secara komperehensif dengan metode socio-legal dengan pendekatan hermeunitik. Sehingga hukum tidak lagi terfragmentasikan akan tetapi dipandang sebagai wajah hukum yang tampak dari berbagai sisi yaitu filosofis, normatif dan sosiologis.



Tujuan hukum dapat dijabarkan berdasarkan tiga teori hukum:
1.      Teori Etis, menghendaki tujuan hukum adakah keadilan, akan tetapi masih terdapat pertanyaan, hakikat keadilan dan isi atau batasan keadilan. Tokohnya Geny
2.      Teori Utilitas, menghendaki the greatest happiness of the greatest number oleh Jeremy Bentham
3.      Teori Campuran, menghendaki tujuan hukum adalah ketertiban dan mencaopai keadilan berbeda-beda menurut masyarakat dan zamannya menurut Mochtar Kusumaatmaja, Soerjono Soekanto, dan Purnadi Purbacaraka
Untuk dapat merealisasikan tujuan hukum tersebut, maka terjabarkan dalam fungsi-fungsi yang dijalankan oleh hukum. Terdapat empat fungsi dasar hukum menurut Hoebel yaitu:
1.      Menetapkan hubungan –hubungan antara para anggota masyarakat
2.      Menentukan pembagian kekuasaan dan membuat peraturan-peraturannya
3.      Menyelesaikan sengketa
4.      Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi sosial yang berubah
Disamping itu, hukum juga berfungsi sebagai kontrol sosial, sehingga hukum dimaknai sebagai suatu institusi sosial dan menurut Aubert, fungsi hukum bersifat prevention of promotion (social engineering).
Hukum harus dipandang sebagai suatu sistem norma, dimana hukum itu sendiri merupakan subsistem dari sebuah sistem besar yang dinamakan masyarakat. Untuk memahami hukum sebagai suatu sistem ada beberapa teori tentang sistem hukum yang disampaikan oleh Lon L. Fuller dan Lawrence M. Friedmann. Friedmann berpendapat bahwa sistem hukum terdiri dari struktur, substansi dan kultur (internal culture dan eksternal culture). Hukum sebagai suatu sistem norma tidak dapat kita lepaskan dari teori hukum positif yang antara lain dianut oleh kaum Kelsenian yang dipelopori oleh Hans Kelsen yang berpendapat bahwa hukum sebagai suatu sistem norma harus mempunyai cantolan norma-norma di atasnya. Dan cantolan yang paling atas yang mendasari semua norma disebut Grundnorm. Hans Kelsen juga menyebutkan pada stufenbau teori bahwa hukum adalah suatu susunan, dimana peraturan di atas dan di bawahnya tidak boleh ada kontradiksi. Every law is a norm.


Fungsi Cita Hukum dalam Pembangunan Hukum yang Demokratis
Menurut Burkhardt Krems pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi proses yang berhubungan dengan isi atau substansi peraturan, metoda pembentukan, serta proses dan prosedur pembentukan peraturan. Apalagi menurut pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 Indonesia adalah negara hukum, artinya setiap kebijakan politik maupun kebijakan lainnya harus berlandaskan hukum, melalui peraturan perundang-undangan maupun peraturan lainnya. Sehingga hukum merupakan bagian integral dari kebijakan Sehingga peran suatu produk hukum dalam negara sangatlah erat sebagai kristalisasi keinginan dalam suatu masyarakat.
Dalam setiap penyusunan suatu produk hukum, konsep dan bahasa hukum yang jelas akan sangat mempengaruhi bagaimana suatu kebijakan berada di dalam masyarakat. Hal yang mendasar dari suatu kebijakan yang akan dituangkan dalam produk hukum hendaknya dikaji secara mendalam dari segi filosofis, normatif dan sosiologis. Pemilihan bahasa yang tepat dikarenakan bahwa hukum adalah untuk masyarakat, melalui salah satu tujuannya yaitu menciptakan order atau ketertiban dan social engineering, sehingga harus mampu mengkomunikasikan pesan yang terkandung di dalam suatu produk hukum agar sampai kepada sasaran yang dimaksud.
Beberapa kebutuhan di atas, mengisyaratkan bahwa hukum harus dimaknai sebagai sebuah sistem, dimana menurut beberapa pakar hukum maupun sosial sistem itu memiliki beberapa ciri-ciri, antara lain harus ada input dan output dari ssistem tersebut. Dalam suatu sistem harus terjalin koherensi, korespondensi, dan koordinasi antara masing-masing subsistem hukum dan tidak boleh bertentangan satu sama lain.
Dalam suatu pembentukan hukum, kita tidak dapat terlepas dari cita hukum yang dijadikan pedoman dalam penyusunan suatu produk hukum. Cita Hukum sendiri dimaknai sebagai konstruksi pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada suatu cita-cita yang diinginkan masyarakat. Gustav Radbruch berpendapat bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat konstitutif dan regulatif. Tanpa cita hukum, suatu produk hukum akan kehilangan maknanya. Sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945  Cita hukum Indonesia adalah Pancasila. Sehingga Cita Hukum ini berada pada Grundnorm menurut Hans Kelsen. Sesuai atau tidaknya produk hukum dengan cita hukum yang menjadi dasar fundamental negara tergantung kepada para pembuat peraturan.
Model pembentukan hukum tidak hanya berkutat pada proses yuridis saja, melainkan sebelumnya melewati tahapan yang panjang yang melibatkan aspek sosio-politis, sehingga cukuplah dikatakan bahwa model pembentukan hukum adalah suatu tahapan demokratis diawali dari proses sosial, dimana besarnya keinginan masyarakat akan suatu produk hukum dipengaruhi beberapa faktor antara lain: suatu permasalahan akan menjadi kebijakan apabila masalah tersebut dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan, keterwakilan masyarakat oleh pembuat keputusan, dan jenis hubungan antara pengaruh kebijakan tersebut. Selanjutnya adalah tahapan politis, disini seluruh ide dan gagasan yang ada dalam masyarakat dipertajam lebih lanjut melalui wacana kritis oleh kekuatan yang ada dalam masyarakat. Proses politis ini pula yang menentukan apakah suatu masalah akan melalui proses yuridis atau tidak.
Proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang demokratis sangat ditentukan dan diwarnai oleh struktur masyarakat, sistem politik dan landasan nilai suatu negara. Oleh karena itulah yang membuat Nonet dan Selznick menggolongkan tipologi hukum  di dalam masyarakat menjadi:(1) Law as the servant of reppresive power; (2) Law as differentiated institution capable of taming repression and protecting its own integrity and (3) Law as a facilitation of response to social need aspirations
Pergeseran Paradigma Hukum: Dari Paradigma Kekuasaan Menuju Paradigma Moral
Jika kita meninjau tipologi kekuasaan dan hukum di Indonesia, kita akan mendapati dua masa yang sangat menonjol yaitu pada masa orde baru (orba) dan masa reformai (pasca soeharto). Pada masa orba, hukum menjadi representasi dari kekuasaan politik dan penguasa, demi apa yang diinginkannya. Tatanan hukum menjadi sangat elitis dan konservatif, karena proses pembentukannya sangat sentralistik dan tidak partisipatif. Hal ini melahirkan kapitalisme semu dimana penguasa mencerminkan power house yang berlaku sebagai kepala bukan sebagai manajer. Kekuasaan ini terus diperluas melaui sarana hukum yang ada untuk menunjukkan hegemoni kekuasaan.
Setelah lengsernya Soeharto, tampuk presiden diberikan kepada Habibie yang berusaha merespon kebutuhan masyarakat melalui semua sistem pemerintahannya. Akan tetapi pola pikir para pejabat yang masih terbiasa menggunakan cara lama belum mampu diubah seketika itu. Paradigma pun terus dibangun dengan cara merubah tatanan hukum menjadi lebih responsif melalui Presiden selanjutnya Gus Dur, namun belum genap masa jabatannya, Gus Dur sudah dilengserkan, kemudian digantikan oleh Megawati yang coba mengakhiri krisis multidimensi, namun hal ini terasa sulit karena tidak serta merta kita mengubah paradigma pembangunan hukum secara tiba-tiba.
Tatanan Hukum pada masa kekuasaan Soeharto membawa hukum Indonesia kedalam sebuah paradigma kekuasaan, dimana hukum hanya digunakan sebagai tameng kekuasaan yang menggunakan sistem hukum totaliter. Sistem hukum seperti itu dicirikan sebagai berikut:
1.      Sistem hukum adalah peraturan yang mengikat yang isinya berubah-ubah tergantung keputusan penguasa
2.      Hukum dipakai sebagai kedok untuk menutupi kekuasaan secara arbriter.
3.      Penerimaan terhadap hukum dilandaskan pada kesadaran palsu dan merendahkan derajat manusia
4.      Sanksi-sanksi hukum mengundang pengrusakan terhadap ikatan sosial serta menciptakan nihilisme sosial yang menyebar.
5.      Tujuan akhirnya adalah legitimasi institusional, terlepas diterima atau tidaknya oleh masyarakat.
Itulah realitas yang ada di Indonesia dimana menunjukkan bahwa hukum bukanlah institusi yang dapat dilepaskan dari konteks sosialnya. Dimana ciri-ciri otoritarian menjadi mendominasi. Ciri-ciri tersebut antara lain:
1.      Kaidah dasar totaliter
2.      Kaidah dasar di atas konstitusi
3.      Hukum yang membudak
4.      Birokrasi totalitarian
5.      Trias Politika Pro Forma
6.      Kepatuhan terpaksa
7.      Tipe merekayasa merusak
Oleh karena tatanan hukum yang  sangat merepresentasikan kekuatan kekuasaan, maka pergeseran atau transformasi menuju hukum yang sesuai dengan cita hukum yang sangat mengedepankan paradigma moral dengan tujuan mencapai kebahagiaan, dan kesejahteraan mayoritas rakyat dan bangsa Indonesia. Maka beberapa langkah pun perlu dilakukan untuk mentransformasi dan reformasi hukum. Pertama, hukum tidak boleh merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, tetapi hukum itu sendiri haruslah rasional. Kedua, untuk menjamin rasionalnya hukum harus didukung oleh kinerja efisien pelaksana hukumnya. Ketiga, substansi hukum harus dimasukkan kedalam bentuk hukum agar berpengaruh dalam struktur sosial masyarakatnya.
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia juga menjadi salah satu negara yang tidak bisa terlepas dari tuntutan transformasi global. Transformasi tersebut banyak di pengaruhi oleh Teori Max Webber dimana manusia dibentuk oleh budaya yang ada disekitarnya. Hal ini ditandai dengan munculnya masyarakat politik demokratis dengan tatanan ekonomi kapitalistik. Budaya globalisasi telah menciptakan pasar bebas baik dalam tingkat global maupun regional. Budaya ini antara lain, budaya makan junk food dan setiap law firms sudah berorientasi kepada bisnis, yang hal ini juga di adopsi di Indonesia. Sehingga setiap penegak hukum (lawyers) termasuk pengadilan saat ini sudah berorientasi bagaimana mengeruk keuntungan sebesar-besarnya didasari tuntutan hidup yang dipengaruhi ekonomi kapitalis tadi. Sehingga makin sedikit institusi penegak hukum yang berorientasi untuk menciptakan dan memberi rasa keadilan bagi masyarakat.
Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan agenda aksi dalam mengantisipasi budaya global, baik dalam bidang hukum maupun budaya konsumsinya. Dalam bidang hukum  ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menghadapi globalisasi yakni: hubungan antara warga negara dan hukum dan masalah kemampuan hukum dalam memenuhi tuntutan politik masyarakat kita yaitu pemenuhan rasa keadilan masyarakat.



[1] Resume dari Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis ,2011, (BP UNDIP: Semarang) halaman 17-65 
[2] Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UNDIP Program fastrack 2012 Mahasiswa Program Fastrack Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2012 twitter: @Kurniowen77 facebook: Taufiq Kurniowen

KONTRAK LISENSI ALIH TEKNOLOGI DI INDONESIA


KAPAN INDONESIA BISA MANDIRI DI BIDANG TEKNOLOGI?
TINJAUAN KRITIS KONTRAK LISENSI ALIH TEKNOLOGI DI INDONESIA[1]
Oleh Taufiq Kurniawan[2]

Indonesia telah menyetujui beberapa konvensi internasional di bidang HKI terutama tentang paten sejak 1994, namun baru pada tahun 2001 pemerintah Indonesia meratifikasinya menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Paten. Ini dilakukan karena sebagai negara berkembang, Indonesia perlu melakukan upaya alih teknologi dari negara yang lebih maju guna mempercepat penguasaan teknologi di Indonesia. Mengandalkan invensi teknologi dari dalam negeri saja di rasa kurang menguntungkan. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai lisensi paten yang diatur dalam Pasal 69-73 Undang-undang Paten yang menggunakan sistem kontrak dengan acuan KUH Perdata. Beberapa permasalahan kemudian timbul karena sejak dikeluarkannya Undang-undang Paten hingga sekarang, belum ada Peraturan Pemerintah sebagai pedoman pelaksanaannya. Namun apakah sejumlah peraturan terkait ini sudah memiliki jiwa nasionalismenya sehingga melindungi contract party yang berasal dari dalam negeri?


Pengertian Kontrak dan Kontrak Lisensi
Pengertian kontrak menurut Subekti adalah perjanjian dalam arti sempit dan perjanjian tersebut dan perjanjian tersebut dibuat secara tertulis. Menurut Erman Radjagukguk, suatu kontrak adalah suatu dokumen tertulis yang memuat keinginan-keinginan para pihak untuk mencapai tujuan-tujuan komersiil dan bagaimana pihaknya diuntungkan, dilindungi atau dibenarkan tanggung jawabnya dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut. Kontrak berpedoman pada pasal 1233 KUH Perdata tentang perikatan pada umumnya, yang isinya:
Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang
Perjanjian lisensi paten adalah izin yang diberikan oleh pemegang paten kepada pihak lain melalui suatu perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang diberikan perlindungan dalam jangka tertentu dan syarat tertentu. Perjanjian lisensi paten sekurang-kurangnya memuat informasi tentang:
a.       tanggal, bulan dan tahun tempat dibuatnya perjanjian lisensi;
b.      nama dan alamat lengkap serta tanda tangan para pihak yang mengadakan perjanjian lisensi;
c.       nomor dan judul dari paten yang menjadi obyek perjanjian lisensi;
d.      jangka waktu perjanjian lisensi;
e.       dapat atau tidaknya jangka waktu perjanjian lisensi diperpanjang;
f.       pelaksanaan paten untuk seluruh atau sebagian dari paten yang diberikan lisensi;
g.       jumlah royalti dan pembayarannya;
h.      dapat atau tidaknya penerima lisensi memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga;
i.        batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila diperjanjikan;
j.        dan dapat atau tidaknya pemberi lisensi melaksanakan sendiri paten yang telah dilisensikan kepada penerima paten.
Perjanjian lisensi dibuat secara tertulis dan harus ditandatangani oleh kedua pihak. Perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan dimuat dalam Daftar Umum Paten dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Jika perjanjian lisensi tidak dicatatkan, perjanjian lisensi tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.[3]
Pengaturan Kontrak Lisensi
Pengaturan kontrak lisensi paten mengenai dua jenis istilah, yakni lisensi paten yang bersifat eksklusif dan lisensi paten yang bersifat non-eksklusif. Undang-undang No. 14 tahun 2001 mengatur hak-hak khusus untuk pemilik paten atau pemegang paten untuk membuat, menggunakan, atau menjual produk atau proses yang dipatenkan olehnya sendiri atau memberikan kepada orang lain lisensi untuk membuat, menggunakan atau menjual produk atau proses yang dipatenkan tersebut. Pasal 70 menyatakan bahwa kecuali diperjanjikan lain, pemegang paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatannya. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa Indonesia menganut jenis perjanjian lisensi paten yang bersifat non-eksklusif.
Jadi dalam hal perjanjian lisensi paten, ketentuan dasar pemberian lisensi diatur dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2001 tentang Paten, khususnya dalam pasal 69-73. Namun rincian ketentuan mengenai lisensi dalam wujud peraturan pelaksanaannya sampai kini belum ditetapkan. Ini berarti bahwa perjanjian alih teknologi diatur dengan KUH Perdata, sedangkan pemberian lisensi paten berdasarkan ketentuan Undang-undang Paten. Oleh karena itu dasar hukum untuk mengatur lisensi paten akan tetap menggunakan ketentuan umum dalam KUH Perdata, terutama ketentuan perjanjiannya walaupun kebebasan membuat perjanjian akan dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dan pasal 71 ayat (1) Undang-undang Paten. Melalui perjanjian lisensi paten ini, pemberi teknologi memberikan hak kepada penerima teknologi untuk suatu jangka waktu tertentu dan dengan syarat dan kondisi yang disetujui bersama, memanfaatkan dan menggunakan teknologi dan pemberi teknologi untuk tujuan tertentu.[4]

Macam-macam Kontrak Lisensi
Kontrak lisensi dapat dibedakan berdasarkan pihak yang berperan sebagai lisensor dan lisensi sebagai berikut:
a.      Privat to Privat
b.      Government to Privat
c.       Government to Government
Wujud dari perjanjian teknologi secara kontraktual dapat berupa, perjanjian lisensi, Leasing, Franchising, Management Contract, Joint Venture atau Subcontracting, Technical Service Contract, Turnkey Contract dan lain-lain.[5]
Pengertian Alih Teknologi
Tentang istilah “alih” atau “pengalihan” merupakan terjemahan dari kata transfer. Sedang kata transfer berasal dari bahasa latin transfere yang berarti jarak lintas (trans, accross) dan ferre yang berarti memuat (besar). Kata alih atau pengalihan banyak dipakai para ahli dalam berbagai tulisan, walaupun adapula yang menggunakan istilah lain seperti “pemindahan” yang diartikan sebagai pemindahan sesuatu dari satu tangan ke tangan yang lain, sama halnya dengan pengoperan atau penyerahan. Pendapat inilah yang menekankan makna harfiahnya, pendapat lain dengan istilah “pelimpahan” sedangkan para ahli menghendaki makna esensinya dengan memperhatikan insir adaptasi, asimilasi, desiminasi atau difusikannya obyek yang ditransfer (teknologi)[6]
Apa yang dikemukakan Marzuki pada definisi teknologi di atas memang tepat karena technical know-how merupakan sesuatu yang menentukan bagi terciptanya peralatan guna memproduksi barang dan jasa. Dapat dikemukakan bahwa technical know how itulah yang memungkinkan terciptanya alat-alat itu.[7] Sehingga dapat ditarik kesimpulan berdasarkan apa yang dikemukakan Marzuki tersebut bahwa alih teknologi sebenarnya alih mengenai technical know-how, yaitu rahasia dibalik peralatan untuk memproduksi barang dan jasa.
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2005 definisi alih teknologi dikemukakan sebagai berikut:

Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya.”

Pengaturan Alih Teknologi secara Internasional dan Nasional
a.      Pengaturan pada TRIPs
Merujuk Pasal 7 dan Pasal 8, dapat ditafsirkan bahwa persoalan alih teknologi menjadi perhatian utama dalam TRIPs. Ketentuan pasal 7 secara tegas mengatakan pentingnya alih teknologi bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi dari negara peserta TRIPs. Pasal 8 lalu menekankan pada perlunya perlindungan pada kesejahteraan masyarakat dan gizi, serta untuk menggalakkan sektor-sektor yang vital untuk kepentingan publik, yang dilaksanakan dalam rangka pengembangan teknologi dan sosio ekonomis negara peserta TRIPs.
b.      Pengaturan pada Ketentuan Hukum di Indonesia
Ketentuan mengenai alih teknologi lebih jauh terdapat dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Undang-undang yang mulai berlaku sejak 29 juli 2002 tersebut menyatakan bahwa alih teknologi merupakan pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badán, atau orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri, maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya.
Terkait dengan alih teknologi dalam lingkup HKI, Pasal 17 menyebutkan bahwa kerja sama internasional dapat diusahakan oleh semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan alih teknologi dari negara-negara lain serta meningkatkan partisipasi dalam kehidupan masyarakat ilmiah internasional. Ketentuan ini lantas dipertegas melalui pasal 23 yang menyatakan bahwa Pemerintah menjamin perlindungan bagi HKI yang dimiliki oleh perseorangan atau lembaga sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tidak secara eksplisit menyatakan perlunya alih teknologi. Meskipun begitu, keberadaan ketentuan mengenai lisensi paten dalam undang-undang ini secara tidak langsung telah mengamanatkan upaya alih teknologi melalui pemberian lisensi paten.

Ketentuan dan Syarat pada Alih Teknologi
Penyerahan suatu atau beberapa hak teknologi (lisensi) dari lisencor kepada lisencee perlu ditundukkan pada sejumlah ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak[8] karena dalam ketentuan dan syarat tersebut masing-masing menentukan “bussiness expectation” dari komitmen hukum yang diperjanjikan. Melalui ketentuan dan syarat tersebut hak (keuntungan yang diharapkan) dan kewajiban (pengorbanan) masing-masing pihak ditetapkan seimbang dan adil.
Diantara berbagai ketentuan dan syarat tersebut yang perlu mendapat perhatian utama diantaranya:
a.       Eksklusifitas atau non-eksklusifitas
Pemberian dan penerimaan lisensi dapat bersifat eksklusif dan non-eksklusif, dapat ditinjau dari segi lisencor atau lisencee dengan kepentingan yang berbeda-beda. Untuk kepentingan pemasaran yang luas, Licensor biasanya menghendaki pemberian lisensi yang non-ekslusif, sehingga lisensi itu dapat digunakan oleh lebih banyak lisencee.
b.      Pembatasan jenis kegiatan
Biasanya lisensi tidak diberikan tanpa batas, dan pembatasan tersebut dapat ditentukan dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut diantaranya:
1)      Lisencee dapat menerima hak know how untuk memproduksi serta menggunakan merek dagang untuk menjual produk yang bersangkutan.
2)      Lisencee dapat menerima hak know how untuk memproduksi, tetapi hak menggunakan merek dagang diberikan kepada Licensee lain guna memasarkannya.
3)      Lisencee hanya mendapatkan hak untuk menggunakan merek perusahaan dalam menjalankan usahanya sendiri.
Lisencee tergantung dari keadaan, bahkan dapat menerima hak know how, hak untuk mengembangkan, hak untuk memasarkan, termasuk mengekspor ke wilayah hukum lain.[9]
IMPLIKASI KONTRAK LISENSI PATEN DI INDONESIA
1.         Kontrak Lisensi Paten sebagai Penyebab Alih Teknologi
Dalam Undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten diberi pengaturan mengenai lisensi pada pasal 69-71. Lisensi paten ini dilaksanakan dengan sistem perjanjian dimana yang sering digunakan adalah kontrak dengan sistem kontrak-baku[1]. Acuan peraturan yang digunakan dalam kontrak baku ini adalah pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian, pasal 1338 KUH Perdata mengenai asas kebebasan berkontrak, pasal 1234 KUH Perdata mengenai prestasi, dan pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum pada perjanjian.
 Adanya kontrak inilah yang menyebabkan alih teknologi di Indonesia, sehingga dengan kata lain bahwa alih teknologi adalah akibat dari adanya regulasi dan kebijakan pemerintah yang membolehkan lisensi paten dengan sistem kontrak.
2.         Peran Pemerintah pada Kontrak Lisensi Paten di Indonesia
Peran pemerintah dalam hal ini lembaga terkait yaitu Kementrian Hukum dan HAM melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional adalah merumuskan peraturan pemerintah sebagai acuan pelaksanaan untuk Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Peran pengawasan dan pelaksanaan dilakukan oleh unit dari Kementrian Hukum dan HAM yaitu Dirjen HKI lebih khusus lagi Direktorat Paten. Setiap kontrak lisensi paten harus didaftarkan kepada Direktorat Paten. Namun pada praktek pelaksanaannya belum maksimal. Masih sangat sedikit kontrak lisensi paten yang didaftarkan. Sehingga proses pemantauan terhadap kontrak itu sendiri masih sangat sulit.   
Secara umum dalam proses alih teknologi ada 5 pihak yang terkait, yaitu[2]:
a.    Pemilik teknologi sebagai pihak yang memberi teknologi
b.    Negara pemilik teknologi
c.    Penerima teknologi
d.   Negara penerima teknologi
e.    Lembaga-lembaga internasional / PBB
Mengingat teknologi sudah menjadi komoditi yang dibutuhkan oleh semua negara maka peranan organisasi dan masyarakat internasional menjadi lebih menonjol. Untuk itu maka pelaksanaan diawali dengan mengungkap posisi dari masyarakat internasional. Kemudian disusul dengan posisi pemilik teknologi  dan penerima teknologi dan penerima teknologi dan akhirnya dibahas posisi pemilik dan penerima teknologi, masing-masing dikupas segi-segi peluang yang dapat diperoleh dan resiko yang harus dihadapi. Pada suatu kontrak timbul kebutuhan hubungan kontraktual, yaitu adanya konsensus selanjutnya dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis.
Untuk itu pemerintah ikut campur dalam perkembangan hukum perjanjian diantaranya melalui perundang-undangan, kebijaksanaan, kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara lain dan sebagainya. Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergabung dengan Perusahaan Nasional dalam bentuk usaha Joint Venture. Kontrak lisensi paten yang diadakan antara pemilik teknologi dengan penerima teknologi diawali dengan penawaran dari pemilik teknologi kepada penerima teknologi.
Selanjutnya apabila lisensee setuju dengan teknologi yang ditawarkan maka dibuat kontrak lisensi paten disertai syarat-syarat yang dikemukakan oleh lisensor. Lisensee akan menandatangani kontrak tersebut apabila lisensee sebagai penerima teknologi setuju dengan syarat-syarat teknologi yang dikemukakan. Pada kontrak lisensi paten, penerima teknologi dituntut agar dalam pengoperasian teknologi tersebut melaksanakan substansi perjanjian dengan itikad baik dan memperhatikan asas kepatutan. Kontrak teknologi tersebut dibuat dalam jangka waktu yang tertentu dengan membayar sejumlah uang sebagai kompensasi atas lisensi paten yang digunakan.
Ditinjau dari segi pembuatan kontrak antara lisensor dengan lisensee, pihak lisensee lebih mengutamakan pada kebutuhan teknologi pada saat kontrak lisensi paten dibuat, sedang pelaksanaan kontraknya sangat tergantung pada lisensor sebagai pemilik teknologi. Dengan demikian pemilik teknologi yang mempunyai hak monopoli atas patennya, karena tidak ada standar baku tentang susunan kontrak lisensi yang diadakan semuanya tergantung pada klausula dalam kontrak serta sesuai dengan kebutuhan teknologi[3] Sistem perjanjian lisensi ini tumbuh dan berkembang dalam praktik sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sesuai dengan sistem terbuka perjanjian lisensi tidak dilarang. Karena itu, diperbolehkan adanya perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak meskipun tidak diatur dalam KUH Perdata.[4]
Menurut pendapat Etty Susilowati, penerima teknologi memberikan batasan-batasan tertentu atau restriction yang tercantum pada pasal 1320 ayat 2 dan pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata serta pembatasan pasal 78 UU Paten, yang bertujuan untuk mengurangi adanya pembatasan-pembatasan yang dikehendaki oleh pemilik teknologi. Akan tetapi pada kontrak yang diadakan para pemilik teknologi juga memberikan pembatasan tertentu dalam rangka melindungi teknologi yang dilisensikan, sehingga teknologi tersebut tetap aman selama digunakan oleh penerima teknologi. Adanya pembatasan yang ditanyakan oleh pemilik maupun penerima teknologi, secara riil terbukti bahwa masing-masing pihak ingin melindungi substansi kontrak yang diadakan untuk mengurangi resiko seminimal mungkin[5]
Untuk memahami hak dan kewajiban masing-masing menurut penulis akan lebih sistematis apabila kontrak yang diadakan dibagi menjadi tiga tahapan seperti yang dikemukakan oleh Van Dunne, yaitu tahap pra kontraktual, tahap kontraktual dan tahap pasca kontraktual.[6] Hal ini untuk mempermudah mengamati hak dan kewajiban masing-masing, khususnya apabila salah satu pihak tidak menepati janji atau wanprestasi, maka tanggung jawab yuridis terletak pada tahapan yang mana? Pada tahapan pra kontraktual secara jelas di sini belum ada tanggung jawab yuridis, sedang tahapan kontrak dan paska kontrak akan tampak tanggung jawab dari para pihak, dan akan tampak ada alih teknologi atau tidak.
Tataran teoritis pada suatu kontrak dideskripsikan mengenai evolusi hukum kontrak yang menggambarkan bahwa hukum kontrak perlu dilihat dalam kerangka kepentingan para pihak, kepentingan sosial dan kepentingan pihak ketiga. Dengan kata lain hubungan antara hukum perundang-undangan dan hukum kontrak sama-sama dalam rangka pengembangan kelembagaan demi perlindungan dan jaminan kepentingan segitiga yaitu antara pemerintah, pihak yang berkontrak dan subyek hukum lain[7]
Seperti yang dikemukakan oleh Stewart Macaulay bahwa apabila pada kontrak yang dibuat secara terencana dan memberikan sanksi hukum, sehingga lebih banyak keuntungan daripada kerugian bagi para pihak maka kontrak tersebut sangat bermanfaat. Akan tetapi apabila ternyata sebaliknya maka para pihak akan memilih tidak sesuai dengan kontrak yang dibuat(cenderung tidak melihat kontrak tersebut).[8]
 
EFEKTIFITAS KONTRAK LISENSI PATEN DI INDONESIA
Friedmann mengemukakan bahwa hukum terdiri dari 3 komponen utama yaitu substansi, struktur dan kultur hukum.[9] Untuk itu analisis terhadap efektifitas kontrak lisensi paten di Indonesia akan di tinjau berdsar 3 komponen utama di atas.
1.      Ditinjau dari Substansi Hukum
Dari substansi Undang-undang No. 14 tahun 2001, terdapat beberapa permasalahan berkenaan dengan pemberian lisensi paten bagi kepentingan alih teknologi di Indonesia meliputi:
a.       Sifat Eklusifitas dari Pemberian Lisensi Paten
Perjanjian lisensi paten mengenai dua jenis istilah, yakni lisensi paten yang bersifat eksklusif dan lisensi paten yang bersifat non-eksklusif. Undang-undang No. 14 tahun 2001 mengatur hak-hak khusus untuk pemilik paten atau pemegang paten untuk membuat, menggunakan, atau menjual produk atau proses yang dipatenkan olehnya sendiri atau memberikan kepada orang lain lisensi untuk membuat, menggunakan atau menjual produk atau proses yang dipatenkan tersebut. Perbedaan antara lisensi yang bersifat eksklusif dan non-eksklusif tidak teruraikan dengan jelas. Pasal 69 hanya menyebutkan bahwa pemilik paten berhak untuk memberikan lisensi kepada orang lain berdasarkan perjanjian lisensi dan meliputi ruang lingkup semua tindakan selama jangka waktu lisensi di seluruh wilayah Indonesia.
Pasal 70 menyatakan bahwa kecuali diperjanjikan lain, pemegang paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatannya. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa Indonesia menganut jenis perjanjian lisensi paten yang bersifat non-eksklusif. Namun batasan seperti apa pembagian eksklusif dan non eksklusif sekali lagi tidak tercantum dalam undang-undang ini.
Dibandingkan dengan Jepang, mereka menganut dua jenis perjanjian lisensi yaitu perjanjian eksklusif sen-yo (sen'yo jisshi ken) untuk hak penggunaan secara eksklusif, dan lisensi non-eksklusif tsujo (tsujo jisshi ken) yaitu hak penggunaan secara biasa atau lisensi non-eksklusif. Dalam perjanjian lisensi eksklusif sen-yo, perjanjian lisensi ini tidak sah berlaku bagi pihak ketiga hingga perjanjian tersebut terdaftar pada buku register kantor paten setempat. Barulah setelah proses tersebut penerima lisensi mempunyai hak untuk menghentikan pihak-pihak lain dari penggunaan tanpa hak atau tanpa izin terhadap penemuan yang dipatenkan itu. Selain itu, penerima lisensi berhak pula untuk menuntut melalui pengadilan gugatan ganti rugí terhadap pelanggaran yang terjadi. Hal iríi karena penerima lisensi eksklusif sen-yo mempunyai hak eksklusif atas pemanfaatan penemuan yang dipatenkan sehingga pemberi lisensi atau pemilik paten tidak dapat menggunakan penemuan yang dipatenkan itu di wilayah penerima lisensi, apabila tidak memperoleh izin dari penerima lisensi tersebut[10]
Dengan tidak tegasnya pengaturan mengenai jenis perjanjian lisensi paten dalam Undang-undang 14 Tahun 2001, maka dalam prakteknya justru berpotensi melemahkan posisi dari penerima lisensi karena hanya berlandaskan pada perjanjian antara kedua belah pihak, tanpa memperhatikan keeksklusifannya. Lemahnya posisi penerima lisensi akan berimbas pada terhambatnya pemanfaatan teknologi yang diharapkan. Terlebih lagi, kecenderungan pihak penerima lisensi yang notabene berasal dari negara berkembang yang cenderung memiliki posisi tawar lemah, jika mengadakan perjanjian dengan pihak-pihak yang berasal dari negara maju.
b.      Sistem Pembayaran Royalti
Royalti merupakan subsistem terpenting yang mempengaruhi kualitas hubungan antara pemberi dan penerima lisensi. Bagi pemberi lisensi, royalti adalah imbalan baginya karena telah menghabiskan waktu, biaya, dan percobaan untuk memperoleh penemuan baru tersebut. Sehingga sedapat mungkin pemberi lisensi atau pemilik paten berharap untuk memperoleh royalti yang tinggi dari penerima lisensi.
Perjanjian lisensi di Indonesia hingga saat ini masih berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Belum terdapat aturan yang membatasi para pihak yang terlibat dalam perjanjian lisensi. Dalam pasal 78, mekanisme pembayaran royalti hanya dijelaskan dalam lisensi wajib saja dimana dikatakan bahwa besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara pembayarannya ditetapkan oleh Direktorat Jenderal. Selanjutnya, penetapan besarnya royalti ini dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim dilakukan dalam perjanjian lisensi paten atau perjanjian lain yang sejenis. Terhadap lisensi biasa, mekanisme pembayaran royalti diserahkan kepada perjanjian diantara para pihak.
c.       Tentang Jangka Waktu Lisensi
Terkait jangka waktu lisensi, Pasal 76 ayat 3 menyebutkan bahwa lisensi-wajib diberikan untuk jangka waktu yang tidak lebih lama daripada jangka waktu perlindungan Paten. Sedangkan mengenai lisensi biasa kesepakatan berdasarkan pada persetujuan para pihak. Namun mekanisme mengenai jangka waktu lisensi ini bisa saja menimbulkan sejumlah permasalahan seperti apakah penerima lisensi masih harus membayar royalti meskipun paten itu telah berakhir atau kadaluwarsa atau telah menjadi milik umum? Dan apakah penerima lisensi atau orang lain harus menyatakan kepada pemberi lisensi, jika ia ingin memanfaatkan paten terhadap paten yang telah menjadi milik umum itu? Pada prakteknya, di Indonesia setelah jangka waktu lisensi paten berakhir, maka pemilik lisensi berusaha melindungi teknologinya dengan jenis perlindungan HKI lainnya[11]

2.      Ditinjau dari Struktur Hukum
Menyangkut lisensi paten bagi kepentingan alih teknologi, Direktorat Paten Direktorat Jenderal HaKI Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI merupakan instansi yang berkompeten dalam menangani persoalan tersebut. Beberapa permasalahan pun timbul seperti mekanisme alur pendaftaran yang cenderung rumit dan panjangnya rantai birokrasi yang harus dilewati. Selain itu masih kurangnya akses informasi secara online yang memudahkan para pihak yang ingin mendaftarkan suatu lisensi paten.
Di Indonesia, jalinan kerjasama antar instansi yang memiliki otoritas dalam menangani paten belum berjalan maksimal. Kerap kali terlihat mereka lebih menonjolkan ego sektoral dalam bekerja. Belum terlihat adanya rantai sinergi yang erat diantara Kantor Paten di Indonesia dengan institusi-institusi lain seperti KPPU yang menangani permasalahan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Di Jepang, selain Kantor Paten yang menangani permasalahan lisensi paten, mereka juga melibatkan Kosei Torihiki linkai atau Fair Trade Commission dan Bank Teknologi. Institusi-institusi tersebut saling berkoordinasi dalam menangani pemberian lisensi Paten di Jepang. Kantor Paten lebih memfokuskan diri pada pemeriksaan substantif dan apabila terdapat kecenderungan bahwa perjanjian lisensi paten ini menimbulkan praktek persaingan tidak sehat dan monopoli, maka Kosei Torihiki linkai akan memutuskan bahwa perjanjian lisensi paten tersebut batal.[12]
Mutia Farida mengatakan bahwa kewenangan untuk kontrak lisensi paten semuanya masih ada di Direktorat Paten, Dirjen HaKI. Proses pendaftaran kontrak lisensi dapat dilakukan melalui Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM di tingkat Provinsi, namun registrasi ini hanya bersifat mengalihkan dokumen pendaftaran dari Kantor Wilayah kepada Direktorat Paten. Pada tataran wilayah, juga belum ada mekanisme registrasi online yang terhubung ke 33 provinsi se-Indonesia. Selain itu mekanisme pemantauan yang belum jelas juga menghambat pengawasan terhadap kontrak lisensi. Jadi selama ini peran pemerintah dalam kasus pelanggaran terhadap kontrak lisensi paten hanya sebagai saksi ahli di pengadilan niaga.[13]

3.      Ditinjau dari Kultur Hukum
Berbicara budaya hukum, ia tak dapat dilepaskan dari pengaruh masyarakat, karena hukum merupakan sarana masyarakat dan bekerja di dalam masyarakat. Oleh karena itu, suatu aturan hukum tidak dapat terlepas dari gagasan maupun pendapat-pendapat yang hidup dikalangan masyarakat. Ibarat dua mata pisau, mereka dapat menjadi indikator penghambat sekaligus mampu menyediakan sarana-sarana sosial dalam mengaplikasikan sebuah aturan hukum[14]
Lisensi teknologi sampai sekarang ini masih sangat sedikit yang didaftarkan sebagai hak paten, alasan-alasan yang dapat dikemukakan adalah:
a.       Temuan teknologi sebagian besar masih belum dapat dikategorikan sebagai temuan original
b.   Mereka yang telah memahami pendaftaran atas teknologinya sebagian besar mengeluhkan biaya yang besar dan proses yang cukup panjang.


[1] Kontrak baku adalah kontrak yang klausula di dalamnya dibuat hanya berdasarkan keinginan satu pihak saja.
[2] Sumantoro, Masalah Pengaturan Alih Teknologi, (Bandung: Alumni, 1993) halaman 59
[3] Ita Gambiro, Perjanjian Alih Teknologi Jenis dan Karakteristiknya, Workshop, Semarang, Oktober 1996 halaman 6
[4] Peter Mahmud Marzuki, Loc.cit
[5] Etty Susilowati. Op.cit halaman 68
[6] Van Dunne, Perbuatan Melawan Hukum, Penataran Hukum Perikatan I Bagian II, Semarang, 1988
[7] Etty Susilowati. Op.cit halaman 69
[8] Stewart Macualay, Hubungan Kontraktual dalam Bisnis, terjemahan, halaman 55.
[9] Friedmann dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2000)halaman 106
[10] Insan Budi Maulana, Lisensi Paten, 1996, (Bandung: Citra Aditya Bakti),halaman 34
[11] Ibid
[12] O.K. Saidin, Op.Cit, halaman 283
[13] Mutia Farida, Wawancara, Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kanwil Kemenkum dan HAM, Jawa Tengah (Semarang: 28 Maret 2011)
[14]Esmi Warassih dalam Pemikiran Hukum Kontemporer, I GN Parikesit Widjateja, Op.cit halaman 55



[1] Judul di publikasikan untuk jurnal ilmiah Gema Keadilan Undip 2011
[2] Mahasiswa Program Fastrack Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2012 twitter: @Kurniowen77 facebook: Taufiq Kurniowen
[3] Balian Zahab, Implementasi mengenai Hukum Alih Teknologi, www.ubb.ac.id diakses pada tanggal 1 Maret 2011 pukul 21.35
[4] Peter Mahmud Marzuki, Pengaturan Hukum Terhadap Perusahaan-perusahaan Transnasional di Indonesia, Disertasi, Universitas Airlangga Surabaya, 1993 halaman 25
[5] Etty Susilowati, Kontrak Alih Teknologi pada Industri Manufaktur, (Yogyakarta: Genta Press, 2007) halaman 153
[6] Segi-segi Hukum Pelimpahan Teknologi, Tim Proyek Pusat Perencanaan Hukum dan Kodifikasinya BPHN, Jakarta, 1982 halaman 14
[7] Peter Mahmud Marzuki, Op.cit halaman 34
[8] Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian, (Jakarta: Binacipta, 1986) halaman 6-8
[9] Etty Susilowaty, Op.cit halaman 139-140