KAPAN INDONESIA BISA MANDIRI DI BIDANG TEKNOLOGI?
TINJAUAN KRITIS KONTRAK LISENSI ALIH TEKNOLOGI DI
INDONESIA
Indonesia telah menyetujui beberapa konvensi
internasional di bidang HKI terutama tentang paten sejak 1994, namun baru pada
tahun 2001 pemerintah Indonesia meratifikasinya menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Paten. Ini dilakukan karena sebagai negara berkembang, Indonesia
perlu melakukan upaya alih teknologi dari negara yang lebih maju guna
mempercepat penguasaan teknologi di Indonesia. Mengandalkan invensi teknologi
dari dalam negeri saja di rasa kurang menguntungkan. Oleh karena itu pemerintah
mengeluarkan kebijakan mengenai lisensi paten yang diatur dalam Pasal 69-73
Undang-undang Paten yang menggunakan sistem kontrak dengan acuan KUH Perdata.
Beberapa permasalahan kemudian timbul karena sejak dikeluarkannya Undang-undang
Paten hingga sekarang, belum ada Peraturan Pemerintah sebagai pedoman
pelaksanaannya. Namun apakah sejumlah peraturan terkait ini sudah memiliki jiwa
nasionalismenya sehingga melindungi contract party yang berasal dari dalam
negeri?
Pengertian
Kontrak dan Kontrak Lisensi
Pengertian
kontrak menurut Subekti adalah perjanjian dalam arti sempit dan perjanjian
tersebut dan perjanjian tersebut dibuat secara tertulis. Menurut Erman
Radjagukguk, suatu kontrak adalah suatu dokumen tertulis yang memuat
keinginan-keinginan para pihak untuk mencapai tujuan-tujuan komersiil dan
bagaimana pihaknya diuntungkan, dilindungi atau dibenarkan tanggung jawabnya
dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut. Kontrak berpedoman pada pasal 1233 KUH
Perdata tentang perikatan pada umumnya, yang isinya:
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang”
Perjanjian lisensi
paten adalah izin yang diberikan oleh pemegang paten kepada pihak lain melalui
suatu perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten
yang diberikan perlindungan dalam jangka tertentu dan syarat tertentu. Perjanjian
lisensi paten sekurang-kurangnya memuat informasi tentang:
a. tanggal, bulan dan tahun tempat
dibuatnya perjanjian lisensi;
b.
nama
dan alamat lengkap serta tanda tangan para pihak yang mengadakan perjanjian
lisensi;
c. nomor dan judul dari paten yang menjadi
obyek perjanjian lisensi;
d. jangka waktu perjanjian lisensi;
e. dapat atau tidaknya jangka waktu
perjanjian lisensi diperpanjang;
f.
pelaksanaan
paten untuk seluruh atau sebagian dari paten yang diberikan lisensi;
g. jumlah royalti dan pembayarannya;
h. dapat atau tidaknya penerima lisensi
memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga;
i.
batas
wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila diperjanjikan;
j.
dan
dapat atau tidaknya pemberi lisensi melaksanakan sendiri paten yang telah
dilisensikan kepada penerima paten.
Perjanjian lisensi
dibuat secara tertulis dan harus ditandatangani oleh kedua pihak. Perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan dimuat dalam Daftar Umum Paten
dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Jika
perjanjian lisensi tidak dicatatkan, perjanjian lisensi tidak mempunyai akibat
hukum terhadap pihak ketiga.
Pengaturan Kontrak Lisensi
Pengaturan kontrak lisensi paten
mengenai dua jenis istilah, yakni lisensi paten yang bersifat eksklusif dan
lisensi paten yang bersifat non-eksklusif. Undang-undang No. 14 tahun 2001
mengatur hak-hak khusus untuk pemilik paten atau pemegang paten untuk membuat,
menggunakan, atau menjual produk atau proses yang dipatenkan olehnya sendiri
atau memberikan kepada orang lain lisensi untuk membuat, menggunakan atau
menjual produk atau proses yang dipatenkan tersebut. Pasal
70 menyatakan bahwa kecuali diperjanjikan lain, pemegang paten tetap boleh
melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk
melaksanakan perbuatannya. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa Indonesia
menganut jenis perjanjian lisensi paten yang bersifat non-eksklusif.
Jadi dalam hal
perjanjian lisensi paten, ketentuan dasar pemberian lisensi diatur dalam
Undang-Undang No.14 Tahun 2001 tentang Paten, khususnya dalam pasal 69-73.
Namun rincian ketentuan mengenai lisensi dalam wujud peraturan pelaksanaannya
sampai kini belum ditetapkan. Ini berarti bahwa perjanjian alih teknologi
diatur dengan KUH Perdata, sedangkan pemberian lisensi paten berdasarkan
ketentuan Undang-undang Paten. Oleh karena itu dasar hukum untuk mengatur
lisensi paten akan tetap menggunakan ketentuan umum dalam KUH Perdata, terutama
ketentuan perjanjiannya walaupun kebebasan membuat perjanjian akan dibatasi
oleh ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dan pasal 71 ayat (1) Undang-undang
Paten. Melalui perjanjian lisensi paten ini, pemberi teknologi memberikan hak
kepada penerima teknologi untuk suatu jangka waktu tertentu dan dengan syarat
dan kondisi yang disetujui bersama, memanfaatkan dan menggunakan teknologi dan
pemberi teknologi untuk tujuan tertentu.
Macam-macam Kontrak Lisensi
Kontrak
lisensi dapat dibedakan berdasarkan pihak yang berperan sebagai lisensor dan
lisensi sebagai berikut:
a.
Privat to Privat
b.
Government to Privat
c.
Government to Government
Wujud
dari perjanjian teknologi secara kontraktual dapat berupa, perjanjian lisensi,
Leasing, Franchising, Management Contract, Joint Venture atau Subcontracting,
Technical Service Contract, Turnkey Contract dan lain-lain.
Pengertian
Alih Teknologi
Tentang istilah “alih” atau “pengalihan” merupakan
terjemahan dari kata transfer. Sedang
kata transfer berasal dari bahasa latin transfere yang berarti jarak lintas
(trans, accross) dan ferre yang berarti memuat (besar). Kata alih atau
pengalihan banyak dipakai para ahli dalam berbagai tulisan, walaupun adapula
yang menggunakan istilah lain seperti “pemindahan” yang diartikan sebagai
pemindahan sesuatu dari satu tangan ke tangan yang lain, sama halnya dengan
pengoperan atau penyerahan. Pendapat inilah yang menekankan makna harfiahnya,
pendapat lain dengan istilah “pelimpahan” sedangkan para ahli menghendaki makna
esensinya dengan memperhatikan insir adaptasi, asimilasi, desiminasi atau
difusikannya obyek yang ditransfer (teknologi)
Apa yang dikemukakan Marzuki pada definisi teknologi di
atas memang tepat karena technical know-how merupakan sesuatu yang
menentukan bagi terciptanya peralatan guna memproduksi barang dan jasa. Dapat
dikemukakan bahwa technical know how itulah yang memungkinkan terciptanya
alat-alat itu. Sehingga
dapat ditarik kesimpulan berdasarkan apa yang dikemukakan Marzuki tersebut
bahwa alih teknologi sebenarnya alih mengenai technical know-how, yaitu rahasia
dibalik peralatan untuk memproduksi barang dan jasa.
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2005
definisi alih teknologi dikemukakan sebagai berikut:
“ Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang
berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke
dalam negeri atau sebaliknya.”
Pengaturan
Alih Teknologi secara Internasional dan Nasional
a.
Pengaturan pada TRIPs
Merujuk Pasal 7 dan Pasal 8, dapat
ditafsirkan bahwa persoalan alih teknologi menjadi perhatian utama dalam TRIPs.
Ketentuan pasal 7 secara tegas mengatakan pentingnya alih teknologi bagi
peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi dari negara peserta TRIPs. Pasal 8
lalu menekankan pada perlunya perlindungan pada kesejahteraan masyarakat dan
gizi, serta untuk menggalakkan sektor-sektor yang vital untuk kepentingan
publik, yang dilaksanakan dalam rangka pengembangan teknologi dan sosio
ekonomis negara peserta TRIPs.
b.
Pengaturan pada Ketentuan Hukum di Indonesia
Ketentuan mengenai alih teknologi lebih
jauh terdapat dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Undang-undang yang mulai berlaku sejak 29 juli 2002 tersebut menyatakan bahwa
alih teknologi merupakan pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badán, atau orang, baik yang berada di
lingkungan dalam negeri, maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri
dan sebaliknya.
Terkait dengan alih teknologi dalam
lingkup HKI, Pasal 17 menyebutkan bahwa kerja sama internasional dapat
diusahakan oleh semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
meningkatkan alih teknologi dari negara-negara lain serta meningkatkan
partisipasi dalam kehidupan masyarakat ilmiah internasional. Ketentuan ini
lantas dipertegas melalui pasal 23 yang menyatakan bahwa Pemerintah menjamin
perlindungan bagi HKI yang dimiliki oleh perseorangan atau lembaga sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Undang-undang
No. 14 Tahun 2001 tidak secara eksplisit menyatakan perlunya alih teknologi.
Meskipun begitu, keberadaan ketentuan mengenai lisensi paten dalam
undang-undang ini secara tidak langsung telah mengamanatkan upaya alih
teknologi melalui pemberian lisensi paten.
Ketentuan dan Syarat pada Alih
Teknologi
Penyerahan
suatu atau beberapa hak teknologi (lisensi) dari lisencor kepada lisencee
perlu ditundukkan pada sejumlah ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi oleh
kedua belah pihak karena
dalam ketentuan dan syarat tersebut masing-masing menentukan “bussiness expectation” dari komitmen
hukum yang diperjanjikan. Melalui ketentuan dan syarat tersebut hak (keuntungan
yang diharapkan) dan kewajiban (pengorbanan) masing-masing pihak ditetapkan
seimbang dan adil.
Diantara
berbagai ketentuan dan syarat tersebut yang perlu mendapat perhatian utama
diantaranya:
a.
Eksklusifitas
atau non-eksklusifitas
Pemberian dan penerimaan
lisensi dapat bersifat eksklusif dan non-eksklusif, dapat ditinjau dari segi lisencor atau lisencee dengan kepentingan yang berbeda-beda. Untuk kepentingan
pemasaran yang luas, Licensor biasanya menghendaki pemberian lisensi yang
non-ekslusif, sehingga lisensi itu dapat digunakan oleh lebih banyak lisencee.
b.
Pembatasan
jenis kegiatan
Biasanya lisensi tidak diberikan tanpa batas, dan
pembatasan tersebut dapat ditentukan dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut
diantaranya:
1) Lisencee dapat menerima hak
know how untuk memproduksi serta menggunakan merek dagang untuk menjual produk
yang bersangkutan.
2) Lisencee dapat menerima hak
know how untuk memproduksi, tetapi hak menggunakan merek dagang diberikan
kepada Licensee lain guna memasarkannya.
3) Lisencee hanya mendapatkan hak
untuk menggunakan merek perusahaan dalam menjalankan usahanya sendiri.
Lisencee
tergantung dari keadaan, bahkan dapat menerima hak know how, hak untuk
mengembangkan, hak untuk memasarkan, termasuk mengekspor ke wilayah hukum lain.
IMPLIKASI
KONTRAK LISENSI PATEN DI INDONESIA
1.
Kontrak Lisensi Paten sebagai
Penyebab Alih Teknologi
Dalam
Undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten diberi pengaturan mengenai
lisensi pada pasal 69-71. Lisensi paten ini dilaksanakan dengan sistem
perjanjian dimana yang sering digunakan adalah kontrak dengan sistem
kontrak-baku. Acuan
peraturan yang digunakan dalam kontrak baku ini adalah pasal 1320 KUH Perdata
mengenai syarat sahnya perjanjian, pasal 1338 KUH Perdata mengenai asas
kebebasan berkontrak, pasal 1234 KUH Perdata mengenai prestasi, dan pasal 1365
KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum pada perjanjian.
Adanya kontrak inilah yang menyebabkan alih
teknologi di Indonesia, sehingga dengan kata lain bahwa alih teknologi adalah
akibat dari adanya regulasi dan kebijakan pemerintah yang membolehkan lisensi
paten dengan sistem kontrak.
2.
Peran Pemerintah pada Kontrak
Lisensi Paten di Indonesia
Peran pemerintah dalam hal ini
lembaga terkait yaitu Kementrian Hukum dan HAM melalui Badan Pembinaan Hukum
Nasional adalah merumuskan peraturan pemerintah sebagai acuan pelaksanaan untuk
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Peran pengawasan dan pelaksanaan
dilakukan oleh unit dari Kementrian Hukum dan HAM yaitu Dirjen HKI lebih khusus
lagi Direktorat Paten. Setiap kontrak lisensi paten harus didaftarkan kepada
Direktorat Paten. Namun pada praktek pelaksanaannya belum maksimal. Masih
sangat sedikit kontrak lisensi paten yang didaftarkan. Sehingga proses
pemantauan terhadap kontrak itu sendiri masih sangat sulit.
Secara umum dalam proses alih
teknologi ada 5 pihak yang terkait, yaitu:
a. Pemilik teknologi sebagai pihak
yang memberi teknologi
b. Negara pemilik teknologi
c. Penerima teknologi
d. Negara penerima teknologi
e. Lembaga-lembaga internasional /
PBB
Mengingat
teknologi sudah menjadi komoditi yang dibutuhkan oleh semua negara maka peranan
organisasi dan masyarakat internasional menjadi lebih menonjol. Untuk itu maka
pelaksanaan diawali dengan mengungkap posisi dari masyarakat internasional.
Kemudian disusul dengan posisi pemilik teknologi dan penerima teknologi dan penerima teknologi
dan akhirnya dibahas posisi pemilik dan penerima teknologi, masing-masing dikupas
segi-segi peluang yang dapat diperoleh dan resiko yang harus dihadapi. Pada
suatu kontrak timbul kebutuhan hubungan kontraktual, yaitu adanya konsensus
selanjutnya dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis.
Untuk
itu pemerintah ikut campur dalam perkembangan hukum perjanjian diantaranya
melalui perundang-undangan, kebijaksanaan, kerjasama bilateral atau
multilateral dengan negara lain dan sebagainya. Penanaman Modal Asing (PMA)
yang bergabung dengan Perusahaan Nasional dalam bentuk usaha Joint Venture.
Kontrak lisensi paten yang diadakan antara pemilik teknologi dengan penerima
teknologi diawali dengan penawaran dari pemilik teknologi kepada penerima
teknologi.
Selanjutnya
apabila lisensee setuju dengan teknologi yang ditawarkan maka dibuat kontrak lisensi
paten disertai syarat-syarat yang dikemukakan oleh lisensor. Lisensee akan
menandatangani kontrak tersebut apabila lisensee sebagai penerima teknologi
setuju dengan syarat-syarat teknologi yang dikemukakan. Pada kontrak lisensi
paten, penerima teknologi dituntut agar dalam pengoperasian teknologi tersebut
melaksanakan substansi perjanjian dengan itikad baik dan memperhatikan asas
kepatutan. Kontrak teknologi tersebut dibuat dalam jangka waktu yang tertentu
dengan membayar sejumlah uang sebagai kompensasi atas lisensi paten yang
digunakan.
Ditinjau
dari segi pembuatan kontrak antara lisensor dengan lisensee, pihak lisensee
lebih mengutamakan pada kebutuhan teknologi pada saat kontrak lisensi paten
dibuat, sedang pelaksanaan kontraknya sangat tergantung pada lisensor sebagai
pemilik teknologi. Dengan demikian pemilik teknologi yang mempunyai hak
monopoli atas patennya, karena tidak ada standar baku tentang susunan kontrak
lisensi yang diadakan semuanya tergantung pada klausula dalam kontrak serta
sesuai dengan kebutuhan teknologi
Sistem perjanjian lisensi ini tumbuh dan berkembang dalam praktik sesuai dengan
perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sesuai dengan sistem terbuka perjanjian
lisensi tidak dilarang. Karena itu, diperbolehkan adanya perjanjian-perjanjian
yang dibuat oleh para pihak meskipun tidak diatur dalam KUH Perdata.
Menurut
pendapat Etty Susilowati, penerima teknologi memberikan batasan-batasan
tertentu atau restriction yang tercantum pada pasal 1320 ayat 2 dan pasal 1338
ayat 3 KUH Perdata serta pembatasan pasal 78 UU Paten, yang bertujuan untuk
mengurangi adanya pembatasan-pembatasan yang dikehendaki oleh pemilik
teknologi. Akan tetapi pada kontrak yang diadakan para pemilik teknologi juga
memberikan pembatasan tertentu dalam rangka melindungi teknologi yang
dilisensikan, sehingga teknologi tersebut tetap aman selama digunakan oleh
penerima teknologi. Adanya pembatasan yang ditanyakan oleh pemilik maupun
penerima teknologi, secara riil terbukti bahwa masing-masing pihak ingin
melindungi substansi kontrak yang diadakan untuk mengurangi resiko seminimal
mungkin
Untuk
memahami hak dan kewajiban masing-masing menurut penulis akan lebih sistematis
apabila kontrak yang diadakan dibagi menjadi tiga tahapan seperti yang
dikemukakan oleh Van Dunne, yaitu tahap pra kontraktual, tahap kontraktual dan
tahap pasca kontraktual.
Hal ini untuk mempermudah mengamati hak dan kewajiban masing-masing, khususnya
apabila salah satu pihak tidak menepati janji atau wanprestasi, maka tanggung
jawab yuridis terletak pada tahapan yang mana? Pada tahapan pra kontraktual
secara jelas di sini belum ada tanggung jawab yuridis, sedang tahapan kontrak
dan paska kontrak akan tampak tanggung jawab dari para pihak, dan akan tampak
ada alih teknologi atau tidak.
Tataran
teoritis pada suatu kontrak dideskripsikan mengenai evolusi hukum kontrak yang
menggambarkan bahwa hukum kontrak perlu dilihat dalam kerangka kepentingan para
pihak, kepentingan sosial dan kepentingan pihak ketiga. Dengan kata lain
hubungan antara hukum perundang-undangan dan hukum kontrak sama-sama dalam
rangka pengembangan kelembagaan demi perlindungan dan jaminan kepentingan
segitiga yaitu antara pemerintah, pihak yang berkontrak dan subyek hukum lain
Seperti
yang dikemukakan oleh Stewart Macaulay bahwa apabila pada kontrak yang dibuat
secara terencana dan memberikan sanksi hukum, sehingga lebih banyak keuntungan
daripada kerugian bagi para pihak maka kontrak tersebut sangat bermanfaat. Akan
tetapi apabila ternyata sebaliknya maka para pihak akan memilih tidak sesuai
dengan kontrak yang dibuat(cenderung tidak melihat kontrak tersebut).
EFEKTIFITAS KONTRAK LISENSI
PATEN DI INDONESIA
Friedmann mengemukakan bahwa
hukum terdiri dari 3 komponen utama yaitu substansi, struktur dan kultur hukum.
Untuk itu analisis terhadap efektifitas kontrak lisensi paten di Indonesia akan
di tinjau berdsar 3 komponen utama di atas.
1.
Ditinjau
dari Substansi Hukum
Dari substansi Undang-undang No. 14
tahun 2001, terdapat beberapa permasalahan berkenaan dengan pemberian lisensi
paten bagi kepentingan alih teknologi di Indonesia meliputi:
a. Sifat
Eklusifitas dari Pemberian Lisensi Paten
Perjanjian lisensi paten mengenai dua
jenis istilah, yakni lisensi paten yang bersifat eksklusif dan lisensi paten
yang bersifat non-eksklusif. Undang-undang No. 14 tahun 2001 mengatur hak-hak
khusus untuk pemilik paten atau pemegang paten untuk membuat, menggunakan, atau
menjual produk atau proses yang dipatenkan olehnya sendiri atau memberikan
kepada orang lain lisensi untuk membuat, menggunakan atau menjual produk atau
proses yang dipatenkan tersebut. Perbedaan antara lisensi yang bersifat
eksklusif dan non-eksklusif tidak teruraikan dengan jelas. Pasal 69 hanya
menyebutkan bahwa pemilik paten berhak untuk memberikan lisensi kepada orang
lain berdasarkan perjanjian lisensi dan meliputi ruang lingkup semua tindakan
selama jangka waktu lisensi di seluruh wilayah Indonesia.
Pasal 70 menyatakan bahwa kecuali
diperjanjikan lain, pemegang paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau
memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatannya.
Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa Indonesia menganut jenis perjanjian
lisensi paten yang bersifat non-eksklusif. Namun batasan seperti apa pembagian
eksklusif dan non eksklusif sekali lagi tidak tercantum dalam undang-undang
ini.
Dibandingkan dengan Jepang, mereka
menganut dua jenis perjanjian lisensi yaitu perjanjian eksklusif sen-yo (sen'yo
jisshi ken) untuk hak penggunaan secara eksklusif, dan lisensi non-eksklusif
tsujo (tsujo jisshi ken) yaitu hak penggunaan secara biasa atau lisensi
non-eksklusif. Dalam perjanjian lisensi eksklusif sen-yo, perjanjian lisensi
ini tidak sah berlaku bagi pihak ketiga hingga perjanjian tersebut terdaftar
pada buku register kantor paten setempat. Barulah setelah proses tersebut
penerima lisensi mempunyai hak untuk menghentikan pihak-pihak lain dari
penggunaan tanpa hak atau tanpa izin terhadap penemuan yang dipatenkan itu.
Selain itu, penerima lisensi berhak pula untuk menuntut melalui pengadilan gugatan
ganti rugí terhadap pelanggaran yang terjadi. Hal iríi karena penerima lisensi
eksklusif sen-yo mempunyai hak eksklusif atas pemanfaatan penemuan yang
dipatenkan sehingga pemberi lisensi atau pemilik paten tidak dapat menggunakan
penemuan yang dipatenkan itu di wilayah penerima lisensi, apabila tidak
memperoleh izin dari penerima lisensi tersebut
Dengan tidak tegasnya pengaturan
mengenai jenis perjanjian lisensi paten dalam Undang-undang 14 Tahun 2001, maka
dalam prakteknya justru berpotensi melemahkan posisi dari penerima lisensi
karena hanya berlandaskan pada perjanjian antara kedua belah pihak, tanpa
memperhatikan keeksklusifannya. Lemahnya posisi penerima lisensi akan berimbas
pada terhambatnya pemanfaatan teknologi yang diharapkan. Terlebih lagi, kecenderungan
pihak penerima lisensi yang notabene berasal dari negara berkembang yang
cenderung memiliki posisi tawar lemah, jika mengadakan perjanjian dengan
pihak-pihak yang berasal dari negara maju.
b. Sistem
Pembayaran Royalti
Royalti merupakan subsistem terpenting
yang mempengaruhi kualitas hubungan antara pemberi dan penerima lisensi. Bagi
pemberi lisensi, royalti adalah imbalan baginya karena telah menghabiskan
waktu, biaya, dan percobaan untuk memperoleh penemuan baru tersebut. Sehingga
sedapat mungkin pemberi lisensi atau pemilik paten berharap untuk memperoleh
royalti yang tinggi dari penerima lisensi.
Perjanjian lisensi di Indonesia hingga
saat ini masih berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Belum terdapat
aturan yang membatasi para pihak yang terlibat dalam perjanjian lisensi. Dalam
pasal 78, mekanisme pembayaran royalti hanya dijelaskan dalam lisensi wajib
saja dimana dikatakan bahwa besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara
pembayarannya ditetapkan oleh Direktorat Jenderal. Selanjutnya, penetapan
besarnya royalti ini dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim
dilakukan dalam perjanjian lisensi paten atau perjanjian lain yang sejenis.
Terhadap lisensi biasa, mekanisme pembayaran royalti diserahkan kepada
perjanjian diantara para pihak.
c. Tentang
Jangka Waktu Lisensi
Terkait jangka waktu lisensi, Pasal 76
ayat 3 menyebutkan bahwa lisensi-wajib diberikan untuk jangka waktu yang tidak
lebih lama daripada jangka waktu perlindungan Paten. Sedangkan mengenai lisensi
biasa kesepakatan berdasarkan pada persetujuan para pihak. Namun mekanisme
mengenai jangka waktu lisensi ini bisa saja menimbulkan sejumlah permasalahan
seperti apakah penerima lisensi masih harus membayar royalti meskipun paten itu
telah berakhir atau kadaluwarsa atau telah menjadi milik umum? Dan apakah
penerima lisensi atau orang lain harus menyatakan kepada pemberi lisensi, jika
ia ingin memanfaatkan paten terhadap paten yang telah menjadi milik umum itu? Pada
prakteknya, di Indonesia setelah jangka waktu lisensi paten berakhir, maka
pemilik lisensi berusaha melindungi teknologinya dengan jenis perlindungan HKI
lainnya
2.
Ditinjau
dari Struktur Hukum
Menyangkut lisensi paten bagi
kepentingan alih teknologi, Direktorat Paten Direktorat Jenderal HaKI
Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI merupakan instansi yang berkompeten
dalam menangani persoalan tersebut. Beberapa permasalahan pun timbul seperti
mekanisme alur pendaftaran yang cenderung rumit dan panjangnya rantai birokrasi
yang harus dilewati. Selain itu masih kurangnya akses informasi secara online
yang memudahkan para pihak yang ingin mendaftarkan suatu lisensi paten.
Di Indonesia, jalinan kerjasama antar instansi
yang memiliki otoritas dalam menangani paten belum berjalan maksimal. Kerap
kali terlihat mereka lebih menonjolkan ego sektoral dalam bekerja. Belum
terlihat adanya rantai sinergi yang erat diantara Kantor Paten di Indonesia
dengan institusi-institusi lain seperti KPPU yang menangani permasalahan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Di Jepang, selain Kantor Paten yang
menangani permasalahan lisensi paten, mereka juga melibatkan Kosei Torihiki
linkai atau Fair Trade Commission dan Bank Teknologi. Institusi-institusi
tersebut saling berkoordinasi dalam menangani pemberian lisensi Paten di
Jepang. Kantor Paten lebih memfokuskan diri pada pemeriksaan substantif dan
apabila terdapat kecenderungan bahwa perjanjian lisensi paten ini menimbulkan
praktek persaingan tidak sehat dan monopoli, maka Kosei Torihiki linkai akan
memutuskan bahwa perjanjian lisensi paten tersebut batal.
Mutia Farida mengatakan bahwa kewenangan
untuk kontrak lisensi paten semuanya masih ada di Direktorat Paten, Dirjen
HaKI. Proses pendaftaran kontrak lisensi dapat dilakukan melalui Kantor Wilayah
Kementrian Hukum dan HAM di tingkat Provinsi, namun registrasi ini hanya
bersifat mengalihkan dokumen pendaftaran dari Kantor Wilayah kepada Direktorat
Paten. Pada tataran wilayah, juga belum ada mekanisme registrasi online yang
terhubung ke 33 provinsi se-Indonesia. Selain itu mekanisme pemantauan yang
belum jelas juga menghambat pengawasan terhadap kontrak lisensi. Jadi selama
ini peran pemerintah dalam kasus pelanggaran terhadap kontrak lisensi paten
hanya sebagai saksi ahli di pengadilan niaga.
3.
Ditinjau
dari Kultur Hukum
Berbicara budaya hukum, ia tak dapat
dilepaskan dari pengaruh masyarakat, karena hukum merupakan sarana masyarakat
dan bekerja di dalam masyarakat. Oleh karena itu, suatu aturan hukum tidak
dapat terlepas dari gagasan maupun pendapat-pendapat yang hidup dikalangan
masyarakat. Ibarat dua mata pisau, mereka dapat menjadi indikator penghambat
sekaligus mampu menyediakan sarana-sarana sosial dalam mengaplikasikan sebuah
aturan hukum
Lisensi teknologi sampai sekarang ini
masih sangat sedikit yang didaftarkan sebagai hak paten, alasan-alasan yang
dapat dikemukakan adalah:
a. Temuan
teknologi sebagian besar masih belum dapat dikategorikan sebagai temuan
original
b. Mereka yang telah memahami pendaftaran atas
teknologinya sebagian besar mengeluhkan biaya yang besar dan proses yang cukup
panjang.