Cita Hukum dan Pergeseran Paradigma Pembangunan
Hukum
di Indonesia[1]
Oleh Taufiq
Kurniawan[2]
Untuk mewujudkan tujuan
masyarakat yang madani berdasarkan cita hukum pancasila, maka perubahan
paradigma perlu dilakukan dalam setiap tahapan pekerjaan hukum, pendidikan
hukum melalui penyiapan sumber dayanya, dan penataan kembali secara simultan
bidang ekonomi, politik, dan membangun budaya hukum yang terumus secara
normatif yang memuat nilai-nilai dasar bangsa yang dalam aplikasinya tidak
boleh mengabaikan aspek realien der Gesetzgebung (modal sosial yang dimiliki
bangsa Indonesia) di tingkat domestik maupun internasional. Sehingga hukum
memiliki nilai yang mengintegrasi subsistem-subsistem tersebut.
Berbagai pengertian
hukum, memiliki banyak dimensi yang sulit disatukan, mengingat masing-masing
dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar, hukum dikelompokkan
kedalam tiga (3) pengertian dasar:
1.
Hukum dipandang
sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak. Konsekuensi metodologi adalah bersifat
logis
2.
Hukum dilihat
sebagai suatu sistem peraturan yang abstrak, maka pusat perhatian terfokus pada
hukum sebagai suatu lembaga besar yang otonom, yang kita bisa bicarakan sebagai
objek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal diluar
peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologisnya adalah
normatif-analitis
3.
Hukum dipakai
sebagai sarana mengatur masyarakat, maka metode yang digunakan adalah metode
sosiologis. Mengaitkan hukum untuk mencapai tujuan dan kebutuhan konkrit dalam
masyarakat.
Akan tetapi hendaknya
hukum dipandang secara komperehensif dengan metode socio-legal dengan
pendekatan hermeunitik. Sehingga hukum tidak lagi terfragmentasikan akan tetapi
dipandang sebagai wajah hukum yang tampak dari berbagai sisi yaitu filosofis,
normatif dan sosiologis.
Tujuan hukum dapat
dijabarkan berdasarkan tiga teori hukum:
1.
Teori Etis,
menghendaki tujuan hukum adakah keadilan, akan tetapi masih terdapat
pertanyaan, hakikat keadilan dan isi atau batasan keadilan. Tokohnya Geny
2.
Teori Utilitas,
menghendaki the greatest happiness of the greatest number oleh Jeremy Bentham
3.
Teori Campuran,
menghendaki tujuan hukum adalah ketertiban dan mencaopai keadilan berbeda-beda
menurut masyarakat dan zamannya menurut Mochtar Kusumaatmaja, Soerjono
Soekanto, dan Purnadi Purbacaraka
Untuk dapat
merealisasikan tujuan hukum tersebut, maka terjabarkan dalam fungsi-fungsi yang
dijalankan oleh hukum. Terdapat empat fungsi dasar hukum menurut Hoebel yaitu:
1.
Menetapkan
hubungan –hubungan antara para anggota masyarakat
2.
Menentukan pembagian
kekuasaan dan membuat peraturan-peraturannya
3.
Menyelesaikan
sengketa
4.
Memelihara
kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi sosial yang
berubah
Disamping itu, hukum
juga berfungsi sebagai kontrol sosial, sehingga hukum dimaknai sebagai suatu
institusi sosial dan menurut Aubert, fungsi hukum bersifat prevention of
promotion (social engineering).
Hukum harus dipandang
sebagai suatu sistem norma, dimana hukum itu sendiri merupakan subsistem dari
sebuah sistem besar yang dinamakan masyarakat. Untuk memahami hukum sebagai
suatu sistem ada beberapa teori tentang sistem hukum yang disampaikan oleh Lon
L. Fuller dan Lawrence M. Friedmann. Friedmann berpendapat bahwa sistem hukum
terdiri dari struktur, substansi dan kultur (internal culture dan eksternal
culture). Hukum sebagai suatu sistem norma tidak dapat kita lepaskan dari teori
hukum positif yang antara lain dianut oleh kaum Kelsenian yang dipelopori oleh
Hans Kelsen yang berpendapat bahwa hukum sebagai suatu sistem norma harus
mempunyai cantolan norma-norma di atasnya. Dan cantolan yang paling atas yang
mendasari semua norma disebut Grundnorm. Hans Kelsen juga menyebutkan pada
stufenbau teori bahwa hukum adalah suatu susunan, dimana peraturan di atas dan
di bawahnya tidak boleh ada kontradiksi. Every law is a norm.
Fungsi Cita Hukum dalam Pembangunan Hukum yang
Demokratis
Menurut Burkhardt Krems
pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi proses yang berhubungan
dengan isi atau substansi peraturan, metoda pembentukan, serta proses dan
prosedur pembentukan peraturan. Apalagi menurut pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945
Indonesia adalah negara hukum, artinya setiap kebijakan politik maupun
kebijakan lainnya harus berlandaskan hukum, melalui peraturan
perundang-undangan maupun peraturan lainnya. Sehingga hukum merupakan bagian
integral dari kebijakan Sehingga peran suatu produk hukum dalam negara sangatlah
erat sebagai kristalisasi keinginan dalam suatu masyarakat.
Dalam setiap penyusunan
suatu produk hukum, konsep dan bahasa hukum yang jelas akan sangat mempengaruhi
bagaimana suatu kebijakan berada di dalam masyarakat. Hal yang mendasar dari
suatu kebijakan yang akan dituangkan dalam produk hukum hendaknya dikaji secara
mendalam dari segi filosofis, normatif dan sosiologis. Pemilihan bahasa yang
tepat dikarenakan bahwa hukum adalah untuk masyarakat, melalui salah satu
tujuannya yaitu menciptakan order atau ketertiban dan social engineering,
sehingga harus mampu mengkomunikasikan pesan yang terkandung di dalam suatu
produk hukum agar sampai kepada sasaran yang dimaksud.
Beberapa kebutuhan di
atas, mengisyaratkan bahwa hukum harus dimaknai sebagai sebuah sistem, dimana
menurut beberapa pakar hukum maupun sosial sistem itu memiliki beberapa
ciri-ciri, antara lain harus ada input dan output dari ssistem tersebut. Dalam
suatu sistem harus terjalin koherensi, korespondensi, dan koordinasi antara
masing-masing subsistem hukum dan tidak boleh bertentangan satu sama lain.
Dalam suatu pembentukan
hukum, kita tidak dapat terlepas dari cita hukum yang dijadikan pedoman dalam
penyusunan suatu produk hukum. Cita Hukum sendiri dimaknai sebagai konstruksi
pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada suatu cita-cita
yang diinginkan masyarakat. Gustav Radbruch berpendapat bahwa cita hukum berfungsi
sebagai tolok ukur yang bersifat konstitutif dan regulatif. Tanpa cita hukum,
suatu produk hukum akan kehilangan maknanya. Sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD NRI 1945 Cita hukum
Indonesia adalah Pancasila. Sehingga Cita Hukum ini berada pada Grundnorm
menurut Hans Kelsen. Sesuai atau tidaknya produk hukum dengan cita hukum yang
menjadi dasar fundamental negara tergantung kepada para pembuat peraturan.
Model pembentukan hukum
tidak hanya berkutat pada proses yuridis saja, melainkan sebelumnya melewati
tahapan yang panjang yang melibatkan aspek sosio-politis, sehingga cukuplah
dikatakan bahwa model pembentukan hukum adalah suatu tahapan demokratis diawali
dari proses sosial, dimana besarnya keinginan masyarakat akan suatu produk
hukum dipengaruhi beberapa faktor antara lain: suatu permasalahan akan menjadi
kebijakan apabila masalah tersebut dapat membangkitkan orang banyak untuk
melakukan tindakan, keterwakilan masyarakat oleh pembuat keputusan, dan jenis
hubungan antara pengaruh kebijakan tersebut. Selanjutnya adalah tahapan
politis, disini seluruh ide dan gagasan yang ada dalam masyarakat dipertajam
lebih lanjut melalui wacana kritis oleh kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Proses politis ini pula yang menentukan apakah suatu masalah akan melalui proses
yuridis atau tidak.
Proses penyusunan
peraturan perundang-undangan yang demokratis sangat ditentukan dan diwarnai
oleh struktur masyarakat, sistem politik dan landasan nilai suatu negara. Oleh
karena itulah yang membuat Nonet dan Selznick menggolongkan tipologi hukum di dalam masyarakat menjadi:(1) Law as the
servant of reppresive power; (2) Law as differentiated institution capable of
taming repression and protecting its own integrity and (3) Law as a
facilitation of response to social need aspirations
Pergeseran Paradigma Hukum: Dari Paradigma Kekuasaan
Menuju Paradigma Moral
Jika kita meninjau
tipologi kekuasaan dan hukum di Indonesia, kita akan mendapati dua masa yang
sangat menonjol yaitu pada masa orde baru (orba) dan masa reformai (pasca
soeharto). Pada masa orba, hukum menjadi representasi dari kekuasaan politik
dan penguasa, demi apa yang diinginkannya. Tatanan hukum menjadi sangat elitis
dan konservatif, karena proses pembentukannya sangat sentralistik dan tidak
partisipatif. Hal ini melahirkan kapitalisme semu dimana penguasa mencerminkan
power house yang berlaku sebagai kepala bukan sebagai manajer. Kekuasaan ini
terus diperluas melaui sarana hukum yang ada untuk menunjukkan hegemoni
kekuasaan.
Setelah lengsernya
Soeharto, tampuk presiden diberikan kepada Habibie yang berusaha merespon
kebutuhan masyarakat melalui semua sistem pemerintahannya. Akan tetapi pola
pikir para pejabat yang masih terbiasa menggunakan cara lama belum mampu diubah
seketika itu. Paradigma pun terus dibangun dengan cara merubah tatanan hukum
menjadi lebih responsif melalui Presiden selanjutnya Gus Dur, namun belum genap
masa jabatannya, Gus Dur sudah dilengserkan, kemudian digantikan oleh Megawati
yang coba mengakhiri krisis multidimensi, namun hal ini terasa sulit karena
tidak serta merta kita mengubah paradigma pembangunan hukum secara tiba-tiba.
Tatanan Hukum pada masa
kekuasaan Soeharto membawa hukum Indonesia kedalam sebuah paradigma kekuasaan,
dimana hukum hanya digunakan sebagai tameng kekuasaan yang menggunakan sistem
hukum totaliter. Sistem hukum seperti itu dicirikan sebagai berikut:
1.
Sistem hukum adalah
peraturan yang mengikat yang isinya berubah-ubah tergantung keputusan penguasa
2.
Hukum dipakai
sebagai kedok untuk menutupi kekuasaan secara arbriter.
3.
Penerimaan
terhadap hukum dilandaskan pada kesadaran palsu dan merendahkan derajat manusia
4.
Sanksi-sanksi
hukum mengundang pengrusakan terhadap ikatan sosial serta menciptakan nihilisme
sosial yang menyebar.
5.
Tujuan akhirnya
adalah legitimasi institusional, terlepas diterima atau tidaknya oleh
masyarakat.
Itulah realitas yang
ada di Indonesia dimana menunjukkan bahwa hukum bukanlah institusi yang dapat
dilepaskan dari konteks sosialnya. Dimana ciri-ciri otoritarian menjadi
mendominasi. Ciri-ciri tersebut antara lain:
1.
Kaidah dasar
totaliter
2.
Kaidah dasar di
atas konstitusi
3.
Hukum yang
membudak
4.
Birokrasi
totalitarian
5.
Trias Politika
Pro Forma
6.
Kepatuhan
terpaksa
7.
Tipe merekayasa
merusak
Oleh karena tatanan
hukum yang sangat merepresentasikan
kekuatan kekuasaan, maka pergeseran atau transformasi menuju hukum yang sesuai
dengan cita hukum yang sangat mengedepankan paradigma moral dengan tujuan
mencapai kebahagiaan, dan kesejahteraan mayoritas rakyat dan bangsa Indonesia.
Maka beberapa langkah pun perlu dilakukan untuk mentransformasi dan reformasi
hukum. Pertama, hukum tidak boleh merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas,
tetapi hukum itu sendiri haruslah rasional. Kedua, untuk menjamin rasionalnya
hukum harus didukung oleh kinerja efisien pelaksana hukumnya. Ketiga, substansi
hukum harus dimasukkan kedalam bentuk hukum agar berpengaruh dalam struktur
sosial masyarakatnya.
Pada era globalisasi
seperti sekarang ini, Indonesia juga menjadi salah satu negara yang tidak bisa
terlepas dari tuntutan transformasi global. Transformasi tersebut banyak di
pengaruhi oleh Teori Max Webber dimana manusia dibentuk oleh budaya yang ada
disekitarnya. Hal ini ditandai dengan munculnya masyarakat politik demokratis
dengan tatanan ekonomi kapitalistik. Budaya globalisasi telah menciptakan pasar
bebas baik dalam tingkat global maupun regional. Budaya ini antara lain, budaya
makan junk food dan setiap law firms sudah berorientasi kepada bisnis, yang hal
ini juga di adopsi di Indonesia. Sehingga setiap penegak hukum (lawyers)
termasuk pengadilan saat ini sudah berorientasi bagaimana mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya didasari tuntutan hidup yang dipengaruhi ekonomi kapitalis
tadi. Sehingga makin sedikit institusi penegak hukum yang berorientasi untuk
menciptakan dan memberi rasa keadilan bagi masyarakat.
Untuk mengatasi hal ini
perlu dilakukan agenda aksi dalam mengantisipasi budaya global, baik dalam
bidang hukum maupun budaya konsumsinya. Dalam bidang hukum ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam
menghadapi globalisasi yakni: hubungan antara warga negara dan hukum dan
masalah kemampuan hukum dalam memenuhi tuntutan politik masyarakat kita yaitu
pemenuhan rasa keadilan masyarakat.
No comments:
Post a Comment