Wilkommen

Semua hal yang unik, profesional, berjiwa seni, ilmiah, sporty dan elegan ada di blog ini..

Slamat ber explore

Tuesday, June 19, 2012


Cita Hukum dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Hukum
di Indonesia[1]
Oleh Taufiq Kurniawan[2]

Untuk mewujudkan tujuan masyarakat yang madani berdasarkan cita hukum pancasila, maka perubahan paradigma perlu dilakukan dalam setiap tahapan pekerjaan hukum, pendidikan hukum melalui penyiapan sumber dayanya, dan penataan kembali secara simultan bidang ekonomi, politik, dan membangun budaya hukum yang terumus secara normatif yang memuat nilai-nilai dasar bangsa yang dalam aplikasinya tidak boleh mengabaikan aspek realien der Gesetzgebung (modal sosial yang dimiliki bangsa Indonesia) di tingkat domestik maupun internasional. Sehingga hukum memiliki nilai yang mengintegrasi subsistem-subsistem tersebut.
Berbagai pengertian hukum, memiliki banyak dimensi yang sulit disatukan, mengingat masing-masing dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar, hukum dikelompokkan kedalam  tiga (3) pengertian dasar:
1.      Hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak. Konsekuensi metodologi adalah bersifat logis
2.      Hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan yang abstrak, maka pusat perhatian terfokus pada hukum sebagai suatu lembaga besar yang otonom, yang kita bisa bicarakan sebagai objek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal diluar peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologisnya adalah normatif-analitis
3.      Hukum dipakai sebagai sarana mengatur masyarakat, maka metode yang digunakan adalah metode sosiologis. Mengaitkan hukum untuk mencapai tujuan dan kebutuhan konkrit dalam masyarakat.
Akan tetapi hendaknya hukum dipandang secara komperehensif dengan metode socio-legal dengan pendekatan hermeunitik. Sehingga hukum tidak lagi terfragmentasikan akan tetapi dipandang sebagai wajah hukum yang tampak dari berbagai sisi yaitu filosofis, normatif dan sosiologis.



Tujuan hukum dapat dijabarkan berdasarkan tiga teori hukum:
1.      Teori Etis, menghendaki tujuan hukum adakah keadilan, akan tetapi masih terdapat pertanyaan, hakikat keadilan dan isi atau batasan keadilan. Tokohnya Geny
2.      Teori Utilitas, menghendaki the greatest happiness of the greatest number oleh Jeremy Bentham
3.      Teori Campuran, menghendaki tujuan hukum adalah ketertiban dan mencaopai keadilan berbeda-beda menurut masyarakat dan zamannya menurut Mochtar Kusumaatmaja, Soerjono Soekanto, dan Purnadi Purbacaraka
Untuk dapat merealisasikan tujuan hukum tersebut, maka terjabarkan dalam fungsi-fungsi yang dijalankan oleh hukum. Terdapat empat fungsi dasar hukum menurut Hoebel yaitu:
1.      Menetapkan hubungan –hubungan antara para anggota masyarakat
2.      Menentukan pembagian kekuasaan dan membuat peraturan-peraturannya
3.      Menyelesaikan sengketa
4.      Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi sosial yang berubah
Disamping itu, hukum juga berfungsi sebagai kontrol sosial, sehingga hukum dimaknai sebagai suatu institusi sosial dan menurut Aubert, fungsi hukum bersifat prevention of promotion (social engineering).
Hukum harus dipandang sebagai suatu sistem norma, dimana hukum itu sendiri merupakan subsistem dari sebuah sistem besar yang dinamakan masyarakat. Untuk memahami hukum sebagai suatu sistem ada beberapa teori tentang sistem hukum yang disampaikan oleh Lon L. Fuller dan Lawrence M. Friedmann. Friedmann berpendapat bahwa sistem hukum terdiri dari struktur, substansi dan kultur (internal culture dan eksternal culture). Hukum sebagai suatu sistem norma tidak dapat kita lepaskan dari teori hukum positif yang antara lain dianut oleh kaum Kelsenian yang dipelopori oleh Hans Kelsen yang berpendapat bahwa hukum sebagai suatu sistem norma harus mempunyai cantolan norma-norma di atasnya. Dan cantolan yang paling atas yang mendasari semua norma disebut Grundnorm. Hans Kelsen juga menyebutkan pada stufenbau teori bahwa hukum adalah suatu susunan, dimana peraturan di atas dan di bawahnya tidak boleh ada kontradiksi. Every law is a norm.


Fungsi Cita Hukum dalam Pembangunan Hukum yang Demokratis
Menurut Burkhardt Krems pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi proses yang berhubungan dengan isi atau substansi peraturan, metoda pembentukan, serta proses dan prosedur pembentukan peraturan. Apalagi menurut pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 Indonesia adalah negara hukum, artinya setiap kebijakan politik maupun kebijakan lainnya harus berlandaskan hukum, melalui peraturan perundang-undangan maupun peraturan lainnya. Sehingga hukum merupakan bagian integral dari kebijakan Sehingga peran suatu produk hukum dalam negara sangatlah erat sebagai kristalisasi keinginan dalam suatu masyarakat.
Dalam setiap penyusunan suatu produk hukum, konsep dan bahasa hukum yang jelas akan sangat mempengaruhi bagaimana suatu kebijakan berada di dalam masyarakat. Hal yang mendasar dari suatu kebijakan yang akan dituangkan dalam produk hukum hendaknya dikaji secara mendalam dari segi filosofis, normatif dan sosiologis. Pemilihan bahasa yang tepat dikarenakan bahwa hukum adalah untuk masyarakat, melalui salah satu tujuannya yaitu menciptakan order atau ketertiban dan social engineering, sehingga harus mampu mengkomunikasikan pesan yang terkandung di dalam suatu produk hukum agar sampai kepada sasaran yang dimaksud.
Beberapa kebutuhan di atas, mengisyaratkan bahwa hukum harus dimaknai sebagai sebuah sistem, dimana menurut beberapa pakar hukum maupun sosial sistem itu memiliki beberapa ciri-ciri, antara lain harus ada input dan output dari ssistem tersebut. Dalam suatu sistem harus terjalin koherensi, korespondensi, dan koordinasi antara masing-masing subsistem hukum dan tidak boleh bertentangan satu sama lain.
Dalam suatu pembentukan hukum, kita tidak dapat terlepas dari cita hukum yang dijadikan pedoman dalam penyusunan suatu produk hukum. Cita Hukum sendiri dimaknai sebagai konstruksi pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada suatu cita-cita yang diinginkan masyarakat. Gustav Radbruch berpendapat bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat konstitutif dan regulatif. Tanpa cita hukum, suatu produk hukum akan kehilangan maknanya. Sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945  Cita hukum Indonesia adalah Pancasila. Sehingga Cita Hukum ini berada pada Grundnorm menurut Hans Kelsen. Sesuai atau tidaknya produk hukum dengan cita hukum yang menjadi dasar fundamental negara tergantung kepada para pembuat peraturan.
Model pembentukan hukum tidak hanya berkutat pada proses yuridis saja, melainkan sebelumnya melewati tahapan yang panjang yang melibatkan aspek sosio-politis, sehingga cukuplah dikatakan bahwa model pembentukan hukum adalah suatu tahapan demokratis diawali dari proses sosial, dimana besarnya keinginan masyarakat akan suatu produk hukum dipengaruhi beberapa faktor antara lain: suatu permasalahan akan menjadi kebijakan apabila masalah tersebut dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan, keterwakilan masyarakat oleh pembuat keputusan, dan jenis hubungan antara pengaruh kebijakan tersebut. Selanjutnya adalah tahapan politis, disini seluruh ide dan gagasan yang ada dalam masyarakat dipertajam lebih lanjut melalui wacana kritis oleh kekuatan yang ada dalam masyarakat. Proses politis ini pula yang menentukan apakah suatu masalah akan melalui proses yuridis atau tidak.
Proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang demokratis sangat ditentukan dan diwarnai oleh struktur masyarakat, sistem politik dan landasan nilai suatu negara. Oleh karena itulah yang membuat Nonet dan Selznick menggolongkan tipologi hukum  di dalam masyarakat menjadi:(1) Law as the servant of reppresive power; (2) Law as differentiated institution capable of taming repression and protecting its own integrity and (3) Law as a facilitation of response to social need aspirations
Pergeseran Paradigma Hukum: Dari Paradigma Kekuasaan Menuju Paradigma Moral
Jika kita meninjau tipologi kekuasaan dan hukum di Indonesia, kita akan mendapati dua masa yang sangat menonjol yaitu pada masa orde baru (orba) dan masa reformai (pasca soeharto). Pada masa orba, hukum menjadi representasi dari kekuasaan politik dan penguasa, demi apa yang diinginkannya. Tatanan hukum menjadi sangat elitis dan konservatif, karena proses pembentukannya sangat sentralistik dan tidak partisipatif. Hal ini melahirkan kapitalisme semu dimana penguasa mencerminkan power house yang berlaku sebagai kepala bukan sebagai manajer. Kekuasaan ini terus diperluas melaui sarana hukum yang ada untuk menunjukkan hegemoni kekuasaan.
Setelah lengsernya Soeharto, tampuk presiden diberikan kepada Habibie yang berusaha merespon kebutuhan masyarakat melalui semua sistem pemerintahannya. Akan tetapi pola pikir para pejabat yang masih terbiasa menggunakan cara lama belum mampu diubah seketika itu. Paradigma pun terus dibangun dengan cara merubah tatanan hukum menjadi lebih responsif melalui Presiden selanjutnya Gus Dur, namun belum genap masa jabatannya, Gus Dur sudah dilengserkan, kemudian digantikan oleh Megawati yang coba mengakhiri krisis multidimensi, namun hal ini terasa sulit karena tidak serta merta kita mengubah paradigma pembangunan hukum secara tiba-tiba.
Tatanan Hukum pada masa kekuasaan Soeharto membawa hukum Indonesia kedalam sebuah paradigma kekuasaan, dimana hukum hanya digunakan sebagai tameng kekuasaan yang menggunakan sistem hukum totaliter. Sistem hukum seperti itu dicirikan sebagai berikut:
1.      Sistem hukum adalah peraturan yang mengikat yang isinya berubah-ubah tergantung keputusan penguasa
2.      Hukum dipakai sebagai kedok untuk menutupi kekuasaan secara arbriter.
3.      Penerimaan terhadap hukum dilandaskan pada kesadaran palsu dan merendahkan derajat manusia
4.      Sanksi-sanksi hukum mengundang pengrusakan terhadap ikatan sosial serta menciptakan nihilisme sosial yang menyebar.
5.      Tujuan akhirnya adalah legitimasi institusional, terlepas diterima atau tidaknya oleh masyarakat.
Itulah realitas yang ada di Indonesia dimana menunjukkan bahwa hukum bukanlah institusi yang dapat dilepaskan dari konteks sosialnya. Dimana ciri-ciri otoritarian menjadi mendominasi. Ciri-ciri tersebut antara lain:
1.      Kaidah dasar totaliter
2.      Kaidah dasar di atas konstitusi
3.      Hukum yang membudak
4.      Birokrasi totalitarian
5.      Trias Politika Pro Forma
6.      Kepatuhan terpaksa
7.      Tipe merekayasa merusak
Oleh karena tatanan hukum yang  sangat merepresentasikan kekuatan kekuasaan, maka pergeseran atau transformasi menuju hukum yang sesuai dengan cita hukum yang sangat mengedepankan paradigma moral dengan tujuan mencapai kebahagiaan, dan kesejahteraan mayoritas rakyat dan bangsa Indonesia. Maka beberapa langkah pun perlu dilakukan untuk mentransformasi dan reformasi hukum. Pertama, hukum tidak boleh merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, tetapi hukum itu sendiri haruslah rasional. Kedua, untuk menjamin rasionalnya hukum harus didukung oleh kinerja efisien pelaksana hukumnya. Ketiga, substansi hukum harus dimasukkan kedalam bentuk hukum agar berpengaruh dalam struktur sosial masyarakatnya.
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia juga menjadi salah satu negara yang tidak bisa terlepas dari tuntutan transformasi global. Transformasi tersebut banyak di pengaruhi oleh Teori Max Webber dimana manusia dibentuk oleh budaya yang ada disekitarnya. Hal ini ditandai dengan munculnya masyarakat politik demokratis dengan tatanan ekonomi kapitalistik. Budaya globalisasi telah menciptakan pasar bebas baik dalam tingkat global maupun regional. Budaya ini antara lain, budaya makan junk food dan setiap law firms sudah berorientasi kepada bisnis, yang hal ini juga di adopsi di Indonesia. Sehingga setiap penegak hukum (lawyers) termasuk pengadilan saat ini sudah berorientasi bagaimana mengeruk keuntungan sebesar-besarnya didasari tuntutan hidup yang dipengaruhi ekonomi kapitalis tadi. Sehingga makin sedikit institusi penegak hukum yang berorientasi untuk menciptakan dan memberi rasa keadilan bagi masyarakat.
Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan agenda aksi dalam mengantisipasi budaya global, baik dalam bidang hukum maupun budaya konsumsinya. Dalam bidang hukum  ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menghadapi globalisasi yakni: hubungan antara warga negara dan hukum dan masalah kemampuan hukum dalam memenuhi tuntutan politik masyarakat kita yaitu pemenuhan rasa keadilan masyarakat.



[1] Resume dari Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis ,2011, (BP UNDIP: Semarang) halaman 17-65 
[2] Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UNDIP Program fastrack 2012 Mahasiswa Program Fastrack Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2012 twitter: @Kurniowen77 facebook: Taufiq Kurniowen

No comments:

Post a Comment