Produk Hukum Pancasilais: Sebuah Penjabaran Ide dari
Negara Hukum Pancasila
Oleh Taufiq Kurniawan[1]
Secara konseptual, suatu perundang-undangan harus memiliki
tiga landasan pokok keberlakuanyaitu: landasan filosofis, landasan yuridis dan
landasan sosiologi. Ketiga landasan tersebut harus berjalan beriringan dan
seimbang dalam formulasi sebuah peraturan perundang-undangan. Namun, seringkali
ketiga peraturan tersebut tidak menjiwai secara berimbang suatu produk
perundanag-undangan. Hal ini tergantung sudut pandang dari seorang legislator
itu sendiri. Dan hal inilah yang sekarang sering kita temui, sehingga tak
jarang beberapa produk hukum yang diciptakan melalui jalur legislasi sudah
cacat sejak lahir, karena ketidakseimbangan ataupun ditinggalkannya salah satu
atau seluruh dari ketiga landasan tersebut di atas. Kecenderungan ini semakin
nampak nyata selama era reformasi ini semenjak banyak peraturan
perundang-undangan yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kita tidak menafikkan bahwa selama proses penyusunan
peraturan perundang-undangan terjadi tarik menarik antara energi politik,
energi ekonomi, energi yuridis dan energi budaya. Talcott Parsons menggambarkan
dalam teori sibernatika, bahwa masing-masing subsistem tersebut memiliki arus
informasi dan kekuatan energi yang berbeda. Secara berurutan, subsistem
politiklah yang memiliki kekuatan energi paling besar, sedangkan arus informasi
berlaku sebaliknya dimana subsistem budaya memiliki arus informasi yang tinggi.
Dari teori ini dapat kita cerminkan ke dalam penyusunan suatu produk hukum,
bahwa subsistem politik memiliki kekuatan yang paling besar menentukan seperti
apa produk hukum yang dihasilkan. Seperti yang kita rasakan bersama saat ini
banyak proses legislasi maupun produk hukum yang menuai kontroversi.
Salah satu dari ketiga landasan di awal pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut adalah landasan filosofis. Landasan filosofis ini
memuat dasar falsafah, tujuan dan nilai dasar yang diperbincangkan sebelum
landasan yuridis dan landasan sosiologis. Barangkali beberapa peraturan yang
dibatalkan tersebut dikarenakan mengabaikan landasan filosofis ini, terlihat
dari konsideran putusan yang dibatalkan oleh MK. Para legislator tidak pernah
menggayutkan formula Perundang-undangan yang akan dibuat dengan landasan
filosofis yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu Pancasila, yang berisi
nilai-nilai yang luar biasa yang
merupakan ekstraksi dari pandangan, nilai hidup yang luhur dari bangsa
Indonesia.
Menurut Arief Hidayat, Indonesia adalah negara hukum, dimana
hukumnya dilandaskan oleh Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm,
sehingga Indonesia adalah negara hukum Pancasila. Dimana sistem hukum yang
dianut adalah pengintegrasian dari beberapa sistem besar hukum di dunia, seperti
yang di anut oleh Negara Hukum Barat dengan common law dan civil lawnya, Negara sosialis-komunis, dan Nomokrasi Islam.[2]
Namun menurut kami, Negara Hukum Pancasila yang
dijabarkan, jika ditinjau secara historis Indonesia terdiri dari beberapa fase
dimana fase orde lama dan orde baru sangat menggunakan produk hukum secara
elitis sebagai kedok dan tameng kekuasaan yang semu. Hal ini sangat tampak
dimana bargaining dari produk hukum yang seharusnya ditujukan untuk masyarakat,digunakan sebagai alat melanggengkan dan memperkaya
pemerintah pada saat itu, pola-pola birokrasi yang digunakan juga cenderung
menciptakan celah bagi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang mengakar dan
masih tampak membudaya sampai sekarang. Sehingga lebih tepatnya menjadi Negara
Hukum yang mengejawantahkan nilai-nilai luhur Pancasila sangat perlu adanya
pada era reformasi sekarang ini. Menurut kami, era reformasi ini disebut dengan
era transisi dimana seluruh produk hukum yang ada harusnya terlepas dari jerat
kekuasaan dan kaum elitis-borjuis menuju ke arah kebahagiaan masyarakat dan
lebih bermoral seperti yang tercantum dalam alinea ke empat pembukaan UUD NRI
1945. Percuma menggunakan sistem hukum yang mengambil nilai baik dari beberapa
sistem hukum besar, akan tetapi implementasi di lapangannya sangat jauh dari
apa yang menjadi tujuan dari sistem itu sendiri.
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang termasuk
salah satu dari 4 Pilar kehidupan berbangsa yang berusaha menggawangi seluruh
harapan, cita-cita dan nilai luhur dari Sabang sampai Merauke, ketahanan
Pancasila telah teruji dalam beberapa forum Internasional. Sebagai dasar
sekaligus ideologi negara, maka Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia
tidak dapat ditawar lagi. Mahfud MD menegaskan bahwa Pancasila yang terumus
dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah modus
vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia. Pancasila sangat cocok dengan
realitas bangsa Indonesia yang plural. Dengan Pancasila akan menjadi ‘ruang’
bagi bertemunya kompromi berbagai kepentingan yang semula saling bertentangan
secara diametral.[1] Seharusnya
hal ini di ilhami oleh para law creator
dan law enforcer. Sehingga sebagai bangsa Indonesia, seharusnya
kita bangga dan merasa ‘merah-putih’ dalam segala aspek kehidupan. Termasuk
para law creator yang seharusnya memerah-putihkan hati dan pikirannya ketika membuat
undang-undang. Tidak seperti sekarang dimana sudah menjadi rahasia umum bahwa
pasal sering diperjualbelikan, dan seperti menjadi ‘barang dagangan’ yang dapat diperjualbelikan. Bahkan untuk
beberapa perda pun saat ini sudah melupakan landasan filosofisnya, terutama
beberapa perda yang berkaitan dengan migas yang proyeknya joint venture dengan
perusahaan asing, tidak pernah menguntungkan pemerintah lokal dan masyarakat
setempat seperti pada kasus Exxon Mobile di Blok Cepu.
Sebagai sebuah rechtsidee
Pancasila berlaku sebagai asas hukum yang mempedomani (guiding principle),
norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang
memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan dan
penerapan hukum).[2] Menurut
Hamid S. Attamimi, Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum Indonesia,
memiliki peranan positif dan negatif. Peranan positifnya sebagai ‘bintang
pemandu’ yang memberi isi pada tiap peraturan perundang-undangan dan secara
negatif untuk membatasi ruang gerak dari peraturan perundang-undangan tersebut
atau yang secara padat dikatakan oleh Muladi, bahwa Pancasila merupakan
instrumen dari “Margin of Appreciation doctrine” yang menjadi acuan parameter
bagi penerapan doktrin tersebut.[3]
[1] Moh.
Mahfud MD.Perdebatan Hukum Tata Negara
Pasca Amandemen Konstitusi. 2007. (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia),
halaman 35
[2] Bernard
Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang
Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan
Ilmu Hukum Nasional Indonesia, 2000, (Bandung: Mandar Maju)
[3] Hamid S.
Attamimi dan Muladi dalam A. Mukthie Fadjar,dkk. Konstitusionalisme Demokrasi. 2010. (Malang: Intrans Publishing)
halaman 192-193
[1]
Mahasiswa Program Fastrack Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2012 twitter:
@Kurniowen77 facebook: Taufiq Kurniowen
[2] Arief
Hidayat dan Airlangga Surya N, Negara Hukum Pancasila (Suatu Model Ideal
Penyelenggaraan Negara Hukum), 2011, Makalah, Disampaikan pada Semiloka
Pendidikan Pancasila dan Konstitusi di Mahkamah Konstitiusi Jakarta
No comments:
Post a Comment