Wilkommen

Semua hal yang unik, profesional, berjiwa seni, ilmiah, sporty dan elegan ada di blog ini..

Slamat ber explore

Saturday, June 16, 2012

Produk Hukum Pancasilais: Sebuah Penjabaran Ide dari Negara Hukum Pancasila
Oleh Taufiq Kurniawan[1]

Secara konseptual, suatu perundang-undangan harus memiliki tiga landasan pokok keberlakuanyaitu: landasan filosofis, landasan yuridis dan landasan sosiologi. Ketiga landasan tersebut harus berjalan beriringan dan seimbang dalam formulasi sebuah peraturan perundang-undangan. Namun, seringkali ketiga peraturan tersebut tidak menjiwai secara berimbang suatu produk perundanag-undangan. Hal ini tergantung sudut pandang dari seorang legislator itu sendiri. Dan hal inilah yang sekarang sering kita temui, sehingga tak jarang beberapa produk hukum yang diciptakan melalui jalur legislasi sudah cacat sejak lahir, karena ketidakseimbangan ataupun ditinggalkannya salah satu atau seluruh dari ketiga landasan tersebut di atas. Kecenderungan ini semakin nampak nyata selama era reformasi ini semenjak banyak peraturan perundang-undangan yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kita tidak menafikkan bahwa selama proses penyusunan peraturan perundang-undangan terjadi tarik menarik antara energi politik, energi ekonomi, energi yuridis dan energi budaya. Talcott Parsons menggambarkan dalam teori sibernatika, bahwa masing-masing subsistem tersebut memiliki arus informasi dan kekuatan energi yang berbeda. Secara berurutan, subsistem politiklah yang memiliki kekuatan energi paling besar, sedangkan arus informasi berlaku sebaliknya dimana subsistem budaya memiliki arus informasi yang tinggi. Dari teori ini dapat kita cerminkan ke dalam penyusunan suatu produk hukum, bahwa subsistem politik memiliki kekuatan yang paling besar menentukan seperti apa produk hukum yang dihasilkan. Seperti yang kita rasakan bersama saat ini banyak proses legislasi maupun produk hukum yang menuai kontroversi.
Salah satu dari ketiga landasan di awal pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut adalah landasan filosofis. Landasan filosofis ini memuat dasar falsafah, tujuan dan nilai dasar yang diperbincangkan sebelum landasan yuridis dan landasan sosiologis. Barangkali beberapa peraturan yang dibatalkan tersebut dikarenakan mengabaikan landasan filosofis ini, terlihat dari konsideran putusan yang dibatalkan oleh MK. Para legislator tidak pernah menggayutkan formula Perundang-undangan yang akan dibuat dengan landasan filosofis yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu Pancasila, yang berisi nilai-nilai yang luar biasa yang  merupakan ekstraksi dari pandangan, nilai hidup yang luhur dari bangsa Indonesia.
Menurut Arief Hidayat, Indonesia adalah negara hukum, dimana hukumnya dilandaskan oleh Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm, sehingga Indonesia adalah negara hukum Pancasila. Dimana sistem hukum yang dianut adalah pengintegrasian dari beberapa sistem besar hukum di dunia, seperti yang di anut oleh Negara Hukum Barat dengan common law dan civil lawnya, Negara sosialis-komunis, dan Nomokrasi Islam.[2]
         Namun menurut kami, Negara Hukum Pancasila yang dijabarkan, jika ditinjau secara historis Indonesia terdiri dari beberapa fase dimana fase orde lama dan orde baru sangat menggunakan produk hukum secara elitis sebagai kedok dan tameng kekuasaan yang semu. Hal ini sangat tampak dimana bargaining dari produk hukum yang seharusnya ditujukan untuk masyarakat,digunakan sebagai alat melanggengkan dan memperkaya pemerintah pada saat itu, pola-pola birokrasi yang digunakan juga cenderung menciptakan celah bagi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang mengakar dan masih tampak membudaya sampai sekarang. Sehingga lebih tepatnya menjadi Negara Hukum yang mengejawantahkan nilai-nilai luhur Pancasila sangat perlu adanya pada era reformasi sekarang ini. Menurut kami, era reformasi ini disebut dengan era transisi dimana seluruh produk hukum yang ada harusnya terlepas dari jerat kekuasaan dan kaum elitis-borjuis menuju ke arah kebahagiaan masyarakat dan lebih bermoral seperti yang tercantum dalam alinea ke empat pembukaan UUD NRI 1945. Percuma menggunakan sistem hukum yang mengambil nilai baik dari beberapa sistem hukum besar, akan tetapi implementasi di lapangannya sangat jauh dari apa yang menjadi tujuan dari sistem itu sendiri.
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang termasuk salah satu dari 4 Pilar kehidupan berbangsa yang berusaha menggawangi seluruh harapan, cita-cita dan nilai luhur dari Sabang sampai Merauke, ketahanan Pancasila telah teruji dalam beberapa forum Internasional. Sebagai dasar sekaligus ideologi negara, maka Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia tidak dapat ditawar lagi. Mahfud MD menegaskan bahwa Pancasila yang terumus dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia. Pancasila sangat cocok dengan realitas bangsa Indonesia yang plural. Dengan Pancasila akan menjadi ‘ruang’ bagi bertemunya kompromi berbagai kepentingan yang semula saling bertentangan secara diametral.[1] Seharusnya hal ini di ilhami oleh para law creator dan law enforcer.  Sehingga sebagai bangsa Indonesia, seharusnya kita bangga dan merasa ‘merah-putih’ dalam segala aspek kehidupan. Termasuk para law creator yang seharusnya memerah-putihkan hati dan pikirannya ketika membuat undang-undang. Tidak seperti sekarang dimana sudah menjadi rahasia umum bahwa pasal sering diperjualbelikan, dan seperti menjadi ‘barang dagangan’  yang dapat diperjualbelikan. Bahkan untuk beberapa perda pun saat ini sudah melupakan landasan filosofisnya, terutama beberapa perda yang berkaitan dengan migas yang proyeknya joint venture dengan perusahaan asing, tidak pernah menguntungkan pemerintah lokal dan masyarakat setempat seperti pada kasus Exxon Mobile di Blok Cepu.
Sebagai sebuah rechtsidee Pancasila berlaku sebagai asas hukum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang  memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan dan penerapan hukum).[2] Menurut Hamid S. Attamimi, Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum Indonesia, memiliki peranan positif dan negatif. Peranan positifnya sebagai ‘bintang pemandu’ yang memberi isi pada tiap peraturan perundang-undangan dan secara negatif untuk membatasi ruang gerak dari peraturan perundang-undangan tersebut atau yang secara padat dikatakan oleh Muladi, bahwa Pancasila merupakan instrumen dari “Margin of Appreciation doctrine” yang menjadi acuan parameter bagi penerapan doktrin tersebut.[3]


[1] Moh. Mahfud MD.Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. 2007. (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia), halaman 35
[2] Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, 2000, (Bandung: Mandar Maju)
[3] Hamid S. Attamimi dan Muladi dalam A. Mukthie Fadjar,dkk. Konstitusionalisme Demokrasi. 2010. (Malang: Intrans Publishing) halaman 192-193


[1] Mahasiswa Program Fastrack Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2012 twitter: @Kurniowen77 facebook: Taufiq Kurniowen
[2] Arief Hidayat dan Airlangga Surya N, Negara Hukum Pancasila (Suatu Model Ideal Penyelenggaraan Negara Hukum), 2011, Makalah, Disampaikan pada Semiloka Pendidikan Pancasila dan Konstitusi di Mahkamah Konstitiusi Jakarta

No comments:

Post a Comment