Wilkommen

Semua hal yang unik, profesional, berjiwa seni, ilmiah, sporty dan elegan ada di blog ini..

Slamat ber explore

Monday, April 2, 2012

Sejarah perkembangan hukum kedalam 4 aliran utama


PERKEMBANGAN HUKUM KEDALAM BEBERAPA ALIRAN
Oleh Taufiq Kurniawan[1]

Sejarah perkembangan hukum merupakan sejarah perkembangan suatu masyarakat dalam totalitas hukum. Apa yang berlaku untuk seluruh berlaku juga untuk sebagian. Serta maksud dan tujuan sejarah hukum mau tidak mau menentukan dalil-dalil atau ‘perkembangan hukum kemasyarakatan’. Hal ini penting karena begitu besar peran hukum dalam masyarakat. Pada awalnya sejarawan hukum mengalami permasalahan untuk menuliskan sejarah hukum ini secara integral, sedangkan hukum merupakan bagian parsiil. Namun pada akhirnya dengan pendekatan objektif, dicapai suatu persesuaian faham tentang wujud dan dasar-dasar hukum yang kemudaian berkembang menjadi aliran-aliran dan mazhab-mazhab dibidang hukum.
Pada awalnya hukum adalah sebuah nilai yang terletak dalam alam pikiran manusia dan disepakati bersama sebagai suatu konsensus yang hidup dalam suatu masyarakat. Nilai berada pada tataran das sollen yang berisi hal-hal yang ideal yang di impikan oleh kita bersama. Kemudian nilai ini di akomodasi dalam bentuk sebuah norma hukum. Jadi disini dapat dikatakan bahwa norma hukum mengandung nilai-nilai yang dicita-citakan dengan lahirnya norma tersebut ke dalam masyarakat. Kemudian setelah suku Barbar terkena pengaruh Romawi, maka norma tersebut dirasa perlu dituliskan. Aturan kebiasaan menurut HLA Hart merupakan ‘aturan pengakuan’ rule of recognition yang juga di akomodasi menjadi sebuah peraturan namun tidak tertulis.[2] Pada perkembangannya konsep hukum sebagai nilai dan peraturan berkembang menjadi beberapa aliran-aliran hukum antara lain:
1.      Filosofical jurisprudence
Memahami hukum sebagai law as what ought to be in moral or ideal percepts, di mana hukum adalah apa yang seharusnya di dalam ajaran, prinsip atau aturan moral atau ideal. Dalam bahasa lain, hukum dalam aliran ini dimaknai sebagai ius constituendum, yakni ‘hukum yang di cita-citakan’ disini hukum dicirikan sebagai asas moralitas yang bernilai universal dan menjadi bagian inheren dari sistem hukum alam. Adapun keadilan sebenarnya masih belum terwujud dan masih terus diupayakan. Bekerja dengan basis norma moral pada ranah normatif normologik.[3] Disini pengetahuan hukum pada hakikatnya dimaknai sebagai hipotesa mengenai hubungan sebab akibat, guna memprediksi dan mengontrol berbagai fenomena sosial yang muncul di tengah masyarakat yang telah diverifikasi serta kemudian diterima sebagai fakta hukum. Dengan bergulirnya waktu, sejalan dengan generalisasi serta semakin terkumpulnya fakta hukum, pengetahuan hukum lalu tumbuh secara bertahap (akresi). Ini dikarenakan setiap fakta hukum sejatinya adalah building block bagi bangunan pengetahuan hukum yang terus tumbuh. Penganut  aliran tersebut dengan demikian juga termasuk para penelitinya maupun hukum itu sendiri berada pada posisi netral terhadap masyarakat sebagai pihak yang diteliti. Mereka mempunyai semacam special previlege dan biasanya bersikap sebagai ilmuwan yang tidak mempunyai ketertarikan (disinterested), maupun mempunyai jarak (distanced), terhadap masyarakat baik sebagai objek penelitian maupun objek hukum itu sendiri. Ini berarti, hukum diyakini bebas nilai atau value free.[4]
2.      Sociology of law
Berakar pada studi yang berakar pada ilmu sosiologi.[5] Memandang hukum dari sudut pandang sosiologi. Memandang hukum sebagai law as it in society. Dalam pandangan ini hukum karenanya diterima sebagai law as regularities. Sebagai sesuatu yang berlangsung sebagai reguler, dengan sendirinya hukum lantas dipadankan layaknya pola perilaku sosial. Tatkala pola ini semakin mapan, hanya soal waktu sebelum akhirnya hukum diartikan lebih jauh sebagai institusi sosial yang nyata sekaligus fungsional di dalam sistem kehidupan masyarakat. Kerja hukum sebagai institusi sosial ini berlangsung baik dalam proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa, maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan pola perilaku yang baru.[6] Dalam hal ini fakta hukum adalah bukan hipotesa yang tidak lagi dapat di falsifikasi. Baru kemudian setelah di generalisasi, fakta hukum ini menjadi bagian dari pengetahuan hukum. Oleh karena setiap fakta hukum dapat di ibaratkan sebagai building block bangunan hukum, maka seiring dengan terkumpulnya fakta hukum pengetahuan hukum pun selanjutnya tumbuuh secara bertahap.



3.      Sociological jurisprudence
Memusatkan studi pada perilaku hakim dalam membuat keputusan.[7] Sosiological jurisprudence yang dipelopori oleh Eugene Elrich (1862-1922) menjadi sangat terkenal sejak tulisan Roscoe Pond (1876-1964). Menurut Schun:
Pound asserted that law had to be viewed as a social institution designed to satisfy social wants and he considered it as task of jurisprudence to develope a scheme whereby the maximum satisfaction of socially worthwhile purpose might be accomplished.[8]
Menurut Roscoe Pound hukum juga berfungsi sebagai alat rekayasa sosial (a tool of social engineering). Aliran ini banyak digunakan dalam penerapan hukum di pemerintahan negara-negara di dunia.
Dalam hal ini, hukum utamanya terwujud sebagai perintah-perintah eksplisit yang secara positif telah terumus jelas guna menjamin kepastiannya, seperti misalnya peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional atau putusan hakim di suatu negara. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa operasi alran-aliran tersebut didasarkan utamanya pada ranah normatif positif. Secara umum hukum dicirikan dengan keputusan yang diciptakan hakim in concreto dalam proses peradilan. Dasar dari aliran yang bergerak pada ranah normatif behavioral ini adalah norma positif yudisial.[9] Bisa dikatakan dengan demikian hukum merupakan hasil cipta penuh pertimbangan (judgement) dari hakim pengadil.
4.      Normatif/Positive Jurisprudence
Menemukan (discover) hukum-hukum alam/alamiah sehingga manusia dapat memprediksi dan mengontrol berbagai peristiwa/kejadian. Suatu sistem yang terbangun oleh interaksi antara berbagai definisi, aksioma dan hukum yang bersifat deduktif dan logis.[10]
Objek dogmatika hukum adalah terutama hukum positif. Dengan itu sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum yang bagian intinya ditetapkan (dipositifkan) oleh para pengemban kewenangan hukum dalam suatu masyarakat tertentu.Perumusan hukum oleh pembentuk hukum disebut rechtsvorming sedangkan pengambilan putusan hukum disebut rechtsvinding[11]
Pandangan normatif menganut teori kebenaran yang lain sebagai latar belakangnya, yakni teori pragamatik. Dalam teori kebenaran pragmatis, suatu teori adalah benar, jika teori itu berfungsi secara memuaskan. Hubungan inti di dalam ilmu adalah subjek dengan subjek. Dalam pandangan normatif, juga tidak dilakukan pembedaan (pemisahan) antara hukum dan moral. Keterjalinan faktual antara hukum dan moral berlawanan dengan pandangan positivistik juga dapat dipertahankan pada tataran teoritis yang abstrak.



[1] Mahasiswa Program Fast Track Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
[2] Lili Rasjidi, Sejarah Hukum: Suatu Perkembangan (PT Refika Aditama, Bandung, 2007) halaman 24
[3] Erlyn Indarti, Komparasi Berbagai Aliran Filsafat Hukum: Suatu kajian Filsafat Hukum. Majalah Ilmiah FH Unissula Vol XVII, No 3 September 2007.
[4] Erlyn Indarti, Diskresi dan Paradigma: Sebuah Telaah Filsafat Hukum. Disampaikan pada pidato pengukuhan Guru Besar Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Undip, Semarang 4 November 2010
[5] Esmi Warassih, Penelitian Socio Legal; Dinamika Sejarah dan Perkembangannya, (Workshop Pemutakhiran Metodologi Penelitian Hukum Bandung, 20-21 Maret 2006) halaman 7-8
[6] RL Abel The Law and Society Reader dikutip oleh Erlyn Indarti Op. Cit halaman 24
[7] Ibid
[8] Edwin M Schun, Law and Society: a sociological view dalam Muhammad Shiddiq TA, Perkembangan Pemikiran Ilmu Hukum (Jakarta, Pradnya Paramita, 2003) halaman 91
[9] R. Wacks dalam Erlyn Indarti Op.Cit halaman 23
[10] Neuman, 1991. Tiga Pendekatan Penelitian dikutip dari Erlyn Indarti, Paradigma: Apa dan Bagaimana (Makalah disampaikan pada kuliah Filsafat Hukum 2011) halaman 6
[11] B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1996) halaman 169

No comments:

Post a Comment