PERKEMBANGAN
HUKUM KEDALAM BEBERAPA ALIRAN
Oleh
Taufiq Kurniawan[1]
Sejarah perkembangan hukum merupakan sejarah
perkembangan suatu masyarakat dalam totalitas hukum. Apa yang berlaku untuk
seluruh berlaku juga untuk sebagian. Serta maksud dan tujuan sejarah hukum mau
tidak mau menentukan dalil-dalil atau ‘perkembangan hukum kemasyarakatan’. Hal
ini penting karena begitu besar peran hukum dalam masyarakat. Pada awalnya
sejarawan hukum mengalami permasalahan untuk menuliskan sejarah hukum ini
secara integral, sedangkan hukum merupakan bagian parsiil. Namun pada akhirnya
dengan pendekatan objektif, dicapai suatu persesuaian faham tentang wujud dan
dasar-dasar hukum yang kemudaian berkembang menjadi aliran-aliran dan
mazhab-mazhab dibidang hukum.
Pada awalnya hukum adalah sebuah nilai yang terletak
dalam alam pikiran manusia dan disepakati bersama sebagai suatu konsensus yang
hidup dalam suatu masyarakat. Nilai berada pada tataran das sollen yang berisi
hal-hal yang ideal yang di impikan oleh kita bersama. Kemudian nilai ini di
akomodasi dalam bentuk sebuah norma hukum. Jadi disini dapat dikatakan bahwa
norma hukum mengandung nilai-nilai yang dicita-citakan dengan lahirnya norma
tersebut ke dalam masyarakat. Kemudian setelah suku Barbar terkena pengaruh
Romawi, maka norma tersebut dirasa perlu dituliskan. Aturan kebiasaan menurut
HLA Hart merupakan ‘aturan pengakuan’ rule
of recognition yang juga di akomodasi menjadi sebuah peraturan namun tidak
tertulis.[2]
Pada perkembangannya konsep hukum sebagai nilai dan peraturan berkembang
menjadi beberapa aliran-aliran hukum antara lain:
1.
Filosofical
jurisprudence
Memahami hukum sebagai law as what ought
to be in moral or ideal percepts, di mana hukum adalah apa yang seharusnya di
dalam ajaran, prinsip atau aturan moral atau ideal. Dalam bahasa lain, hukum
dalam aliran ini dimaknai sebagai ius constituendum, yakni ‘hukum yang di
cita-citakan’ disini hukum dicirikan sebagai asas moralitas yang bernilai
universal dan menjadi bagian inheren dari sistem hukum alam. Adapun keadilan
sebenarnya masih belum terwujud dan masih terus diupayakan. Bekerja dengan
basis norma moral pada ranah normatif normologik.[3]
Disini pengetahuan hukum pada hakikatnya dimaknai sebagai hipotesa mengenai
hubungan sebab akibat, guna memprediksi dan mengontrol berbagai fenomena sosial
yang muncul di tengah masyarakat yang telah diverifikasi serta kemudian
diterima sebagai fakta hukum. Dengan bergulirnya waktu, sejalan dengan
generalisasi serta semakin terkumpulnya fakta hukum, pengetahuan hukum lalu
tumbuh secara bertahap (akresi). Ini dikarenakan setiap fakta hukum sejatinya
adalah building block bagi bangunan
pengetahuan hukum yang terus tumbuh. Penganut aliran tersebut dengan demikian juga termasuk
para penelitinya maupun hukum itu sendiri berada pada posisi netral terhadap
masyarakat sebagai pihak yang diteliti. Mereka mempunyai semacam special
previlege dan biasanya bersikap sebagai ilmuwan yang tidak mempunyai
ketertarikan (disinterested), maupun mempunyai jarak (distanced), terhadap masyarakat baik sebagai objek penelitian
maupun objek hukum itu sendiri. Ini berarti, hukum diyakini bebas nilai atau value free.[4]
2.
Sociology
of law
Berakar pada studi yang berakar pada
ilmu sosiologi.[5]
Memandang hukum dari sudut pandang sosiologi. Memandang hukum sebagai law as it in society. Dalam pandangan
ini hukum karenanya diterima sebagai law
as regularities. Sebagai sesuatu yang berlangsung sebagai reguler, dengan
sendirinya hukum lantas dipadankan layaknya pola perilaku sosial. Tatkala pola
ini semakin mapan, hanya soal waktu sebelum akhirnya hukum diartikan lebih jauh
sebagai institusi sosial yang nyata sekaligus fungsional di dalam sistem
kehidupan masyarakat. Kerja hukum sebagai institusi sosial ini berlangsung baik
dalam proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa, maupun dalam
proses pengarahan dan pembentukan pola perilaku yang baru.[6]
Dalam hal ini fakta hukum adalah bukan hipotesa yang tidak lagi dapat di
falsifikasi. Baru kemudian setelah di generalisasi, fakta hukum ini menjadi
bagian dari pengetahuan hukum. Oleh karena setiap fakta hukum dapat di
ibaratkan sebagai building block
bangunan hukum, maka seiring dengan terkumpulnya fakta hukum pengetahuan hukum
pun selanjutnya tumbuuh secara bertahap.
3.
Sociological
jurisprudence
Memusatkan studi pada perilaku hakim
dalam membuat keputusan.[7]
Sosiological jurisprudence yang dipelopori oleh Eugene Elrich (1862-1922)
menjadi sangat terkenal sejak tulisan Roscoe Pond (1876-1964). Menurut Schun:
Pound
asserted that law had to be viewed as a social institution designed to satisfy
social wants and he considered it as task of jurisprudence to develope a scheme
whereby the maximum satisfaction of socially worthwhile purpose might be
accomplished.[8]
Menurut
Roscoe Pound hukum juga berfungsi sebagai alat rekayasa sosial (a tool of social engineering). Aliran
ini banyak digunakan dalam penerapan hukum di pemerintahan negara-negara di
dunia.
Dalam
hal ini, hukum utamanya terwujud sebagai perintah-perintah eksplisit yang
secara positif telah terumus jelas guna menjamin kepastiannya, seperti misalnya
peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional atau putusan hakim di
suatu negara. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa operasi alran-aliran tersebut
didasarkan utamanya pada ranah normatif positif. Secara umum hukum dicirikan
dengan keputusan yang diciptakan hakim in concreto dalam proses peradilan.
Dasar dari aliran yang bergerak pada ranah normatif behavioral ini adalah norma
positif yudisial.[9]
Bisa dikatakan dengan demikian hukum merupakan hasil cipta penuh pertimbangan (judgement) dari hakim pengadil.
4.
Normatif/Positive
Jurisprudence
Menemukan (discover)
hukum-hukum alam/alamiah sehingga manusia dapat memprediksi dan mengontrol
berbagai peristiwa/kejadian. Suatu sistem yang terbangun oleh interaksi antara
berbagai definisi, aksioma dan hukum yang bersifat deduktif dan logis.[10]
Objek dogmatika hukum adalah terutama hukum positif.
Dengan itu sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum yang bagian intinya
ditetapkan (dipositifkan) oleh para pengemban kewenangan hukum dalam suatu
masyarakat tertentu.Perumusan hukum oleh pembentuk hukum disebut rechtsvorming sedangkan pengambilan
putusan hukum disebut rechtsvinding[11]
Pandangan normatif menganut teori kebenaran yang
lain sebagai latar belakangnya, yakni teori pragamatik. Dalam teori kebenaran
pragmatis, suatu teori adalah benar, jika teori itu berfungsi secara memuaskan.
Hubungan inti di dalam ilmu adalah subjek dengan subjek. Dalam pandangan
normatif, juga tidak dilakukan pembedaan (pemisahan) antara hukum dan moral.
Keterjalinan faktual antara hukum dan moral berlawanan dengan pandangan
positivistik juga dapat dipertahankan pada tataran teoritis yang abstrak.
[1]
Mahasiswa Program Fast Track Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
[2] Lili Rasjidi, Sejarah Hukum:
Suatu Perkembangan (PT Refika Aditama, Bandung, 2007) halaman 24
[3] Erlyn Indarti, Komparasi
Berbagai Aliran Filsafat Hukum: Suatu kajian Filsafat Hukum. Majalah Ilmiah FH
Unissula Vol XVII, No 3 September 2007.
[4] Erlyn Indarti, Diskresi dan
Paradigma: Sebuah Telaah Filsafat Hukum. Disampaikan pada pidato pengukuhan
Guru Besar Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Undip, Semarang 4 November 2010
[5] Esmi Warassih, Penelitian Socio
Legal; Dinamika Sejarah dan Perkembangannya, (Workshop Pemutakhiran Metodologi
Penelitian Hukum Bandung, 20-21 Maret 2006) halaman 7-8
[6] RL Abel The Law and Society
Reader dikutip oleh Erlyn Indarti Op. Cit halaman 24
[7] Ibid
[8] Edwin M Schun, Law and Society:
a sociological view dalam Muhammad Shiddiq TA, Perkembangan Pemikiran Ilmu
Hukum (Jakarta, Pradnya Paramita, 2003) halaman 91
[9] R. Wacks dalam Erlyn Indarti
Op.Cit halaman 23
[10] Neuman, 1991. Tiga Pendekatan
Penelitian dikutip dari Erlyn Indarti, Paradigma: Apa dan Bagaimana (Makalah
disampaikan pada kuliah Filsafat Hukum 2011) halaman 6
[11] B. Arief Sidharta, Refleksi
Tentang Hukum (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1996) halaman 169
No comments:
Post a Comment